By: Rakhmat
Abril Kholis
Munculnya kekuatan ekonomi baru yakni Cina dalam
kancah pertarungan pengaruh global berefek pada banyak lini. Bukan hanya
pergeseran dalam area ekonomi dan moneter internasional ataupun daya dominansi
yang semakin tersebar, melainkan dapat dilihat timbul pola-pola kerjasama baru
serta tatanan perpolitikan yang melibatkan aktor-aktor entitas ideologi di
dunia.
Pertumbuhan
yang progresif dari Cina (baca: Tiongkok) bukan hanya bertumpu pada satu sektor
(ekonomi) melainkan hingga menyentuh pada sektor-sektor vital lainnya seperti
militer, pendidikan, keilmuan, dan teknologi. Pertumbuhan ekonomi yang signifikan
di Cina dinilai tidak terpelas dari kerjasama dan pergerakan Cina dengan kekuatan Barat dan Timur. Maka untuk
mempertahankan eksistensi pertumbuhan ekonomi, militer, dan keilmuannya, Cina
bertumpu pada pasokan sumber energi minyak dari negara-negara penghasil minyak
di dunia. Selain itu, dalam hal perkembangan strategi dan pengaruh militernya,
Cina memanfaatkan Shanghai Cooperation Organization demi menjaga
penerimaan negara di area kawasan. Dikarenakan secara geografi Cina cenderung
berdekatan dengan negara-negara yang realita penduduknya adalah mayoritas
Muslim dan ditambah lagi dengan adanya perubahan hubungan internasional pasca
peristiwa 11 September, negara-negara Muslim dinilai semakin erat membangun
hubungan kedekatan dengan Cina demi melawan kekuatan pengaruh Barat.
Pada
perkembangannya, Cina terlihat semakin menjalin kerjasama yang intens dengan
negara-negara yang kaya akan sumber daya minyak baik di Asia maupun Afrika.
Negara-negara yang notabene secara keseluruhan merupakan negara dengan sistem
ataupun sosio-demografinya Islam. Kebutuhan akan energi yang tinggi inilah yang
menimbulkan adanya hipotesa bahwa terdapat implikasi antara kemunculan Cina
sebagai kekuatan ekonomi baru terhadap aktivitas Dunia Muslim.
Hubungan
kerjsama antara Cina dengan negara-negara Muslim mencakup dari berbagai wilayah
di belahan dunia. Asia Selatan dan Asia Tenggara, Asia Tengah, Timur Tengah,
Afrika Utara, serta Afrika Barat dan Sub Sahara. Namun hanya di beberapa negara
Muslim tertentu dimana Cina menjalin hubungan yang sangat erat hingga pada
tataran kerjasama di berbagai sektor lain selain ekonomi. Arab Saudi, Suriah,
Iran, Malaysia, dan termasuk Indonesia merupakan beberapa negara yang
dikategorikan membangun hubungan yang cukup baik dengan Cina.
Pepatah
tua Arab yang berbunyi “Pergilah menuntut ilmu sampai ke negeri Cina”
seakan semakin meyakinkan relasi yang posititf antara Dunia Muslim dengan Cina.
Hal ini mencerminkan bahwa Cina sudah
menjadi bagian dari sejarah yang panjang di kalangan dunia Islam baik dalam hal
kemajuan peradaban, ilmu penegetahuan, dan pembangunan. Dua peradaban besar
yang dari dahulu hingga sekarang tetap menjadi perhatian dinamika hubungan
internasional.
Relasi
antara Cina dan dunia Islam dapat dikategorikan sebagai berikut:Pertama, seiring
dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dari Cina, maka secara langsung
saham dalam perdagangan serta investasi dengan dunia Islam juga menignkat secara
signifikan.. Sebagai contoh hubungan antara China dengan negara-negara Muslim
di Afrika yang berinisiatif untuk menjalin sebuah kemitraan telah menarik
banyak perhatian termasuk dari negara Barat.
(Swan, 2007)
Cina
dituduh oleh Barat mengejar blue print kolonial di Afrika dan dikritik
karena melanggar hak asasi manusia dalam tataran ekonomi dengan negara-negara Afrika (Large, 2006). Kebijakan yang sering ditawarkan oleh Cina dipandang lebih
menarik, dapat dipercaya dan populer dibandingkan bantuan atau tawaran Barat yang syarat ikatan
politik seperti demokrasi dan hak asasi manusia. Negara-negara Muslim mungkin
menemukan pendekatan oleh Cina dapat dijadikan jalan alternatif untuk mendorong
kerjasama yang lebih besar hingga pada akhirnya dapat membentuk sebuah pola
aliansi kerjasama alternatif.
Kedua,
kebijakan ekonomi Cina dengan negara-negara Muslim di Afrika dan Asia pada umumnya
didefinisikan sebagai kemitraan, kesetaraan politik, dan saling
menguntugkan. China berinvestasi di negara-negara Asia maupun Afrika secara
langsung untuk pembangunan infrastruktur. Dengan cara ini, investasi China
dianggap menjadi lebih nyata dan mudah menguntungkan. Selanjutnya, investasi
dan bantuan asing dari Cina untuk sebagian besar negara Muslim biasanya tidak
memerlukan prasyarat politik apapun. Berbeda dengan Barat yang telah banyak memberlakukan
sanksi ekonomi terhadap negara-negara seperti Iran, Sudan dan Suriah dengan
alasan politik sebagai akibat dari pelanggaran akan sistem kemitraan. Dengan
kata lain, investasi China adalah didasarkan pada asa non-intervention dalam
urusan dalam negeri suatu negara. Pendekatan ini Cina membuatnya lebih populer
dan dapat diterima di negara-negara Muslim.
Kebangkitan
Cina terlihat jelas dalam politik ekonomi internasional. Cina telah menjadi
raksasa ekonomi dengan potensi yang besar untuk melampaui ekonomi Amerika. Cina
juga telah berhasil melampaui dominansi Jepang dan menggeser keseimbangan
kekuasaan di wilayah Asia Timur. Keterlibatan
yang cukup kuat dari Cina di kawasan Afrika
menyebabkan banyak iritasi untuk negara-negara
tertentu di Barat. China menjadi konsumen
energi tunggal terbesar yang berasal dari dunia Muslim. Tidak hanya gas dan
minyak yang mengalir ke China melainkan juga petrodolar dari
negara-negara Muslim yang kaya akan minyak yang melihat Cina sebagai tempat
yang sehat untuk berinvestasi.
Di
atas itu semua, Cina telah mampu memperoleh kepercayaan dari negara-negara
Muslim. Dunia Islam mungkin semakin menemukan China sebagai negara adidaya
pelindung alternatif untuk melawan pengaruh Barat. Jika tren ini terus berlanjut, tesis Huntington
yakni adanya bentukan aliansi antara Islam dengan Konfusianisme (Cina) dalam Clash of Civilization mungkin tidak
lagi terdengar terlalu fantastis di masa depan.
Buat lebih berguna, kongsi: