By: Rakhmat Abril Kholis
Bagian demi bagian cerita sejarah di kawasan Timur Tengah
dari era Pasca Perang Dunia II hingga okupasi (occupation) Israel di
Palestina menjadi irisan umum yang dijelaskan oleh Halliday pada bab ini. Dimulai dari pecahnya perang Arab-Israel (pasca
dikeluarkannya Resolusi PBB No. 181 tanggal 29 November 1947 hingga akhir masa
kolonialisme Inggris dan masuknya tentara arab ke Palestina) yang banyak
melibatkan berbagai negara Arab seperti Mesir, Yordania, Iraq, dan Suriah,
hingga pada akhirnya Israel berhasil menguasai Jurussalem Timur, Gaza, Tepi
Barat, dan beberapa wilayah lainnya menjadi awal perubahan landscape
sosial politik Timur Tengah.
Mulai masuknya tentara Israel ke tanah Palestina menjadi
pertanda buruk bagi domestik Palestina sendiri.
Pada saat itu, persediaan senjata Palestina sangat minim ditambah
hantaman kondisi perekonomian yang lemah. Sedangkan di sisi lain, Yahudi justru
mengimpor senjata-senjata baru dan canggih dalam jumlah besar. Selain itu, konflik
internal yang terjadi mengakibatkan kemunduran bagi Palestina khususnya pada
pasca tewasnya Abdul Qadir Al-Husaini dalam pertempuran Al-Qasthal, dan dibunuhnya
Dir Yasin oleh tentara Yahudi yang mengakibatkan ratusan korban tewas dari
Palestina. Secara singkat, beberapa kota penting di Palestina jatuh ke tangan Yahudi.
Pada awal-awal perang, pasukan Arab menunjukkan hasil
yang cukup impresif. Tentara Mesir , Yordania, Iraq, dan Suriah secara langsung
mampu menahan gempuran Israel di beberapa titik wilayah sekitar Palestina.
Secara umum Palestina masih menguasai 80-82% luas wilayah hingga masuknya bala
tentara negara-negara Arab. Posisi tentara Yahudi terancam di beberapa titik,
namun di lain tempat mereka justru menguasainya seperti di sebagian utara
Palestina pasca ditaklukannya kota Aka pada 17 Mei 1948. Pasca perang ini, bangsa Yahudi mengusir sekitar
800.000 penduduk dan 290.000 warga Palestina mengungsi serta dilarang untuk
kembali sampai saat ini.
Perang antara Arab dengan Israel
ternyata bukan hanya berdampak besar bagi Palestina, melainkan juga negara
sekitarnya. Beberapa negara yang terlibat langsung maupun tidak terlibat
sekalipun mengalami dampak perubahan yang signifikan pada tataran domestiknya. Perubahan
sistem parlementer konstitusional Suriah menjadi pola pemerintahan militer pada
1949, munculnya
gerakan pemberontakan untuk menggulingkan sistem monarki dalam negeri di Iran,
hingga keberhasilan Mesir merebut kekuasaan Inggris dan mengganti sistem
negaranya menjadi republik (1952).
Pada bagian selanjutnya,
Halliday menggiring pembaca ke era pergerakan banyak pemimpin negara di sekitar
Palestina demi menggalang dukungan elemen Timur Tengah untuk mendukung
pembebasan Palestina. Hal ini dibuktikan dengan sikap pemimpin Mesir Gamal Abd
Nasser (1966-1967) melakukan kampanye
mencari dukungan dari pan-Arab untuk menaklukkan Israel dan mengusir Yahudi. Sikap
ini juga semakin diperkuat dengan masuknya Jordan dalam pakta pertahanan (30
Mei 1967 ) yang sebelumnya dibentuk oleh Mesir dan Syria. Mesir mulai melakukan
mobilisasi pasukan di Sinai dan melintasi batas demiliterisasi yang disepakati
dan mendekati perbatasan selatan Israel.
Pergerakan yang sama juga
dilakukan oleh Jordan, Syria, dan Lebanon. Pada saat bersamaan pasukan Jordan,
Syria dan Lebanon mulai mengepung Israel dari arah timur dan utara. Dalam
perang yang terkenal dengan sebutan perang enam hari tersebut Israel berhasil
mengalahkan negara-negara Arab tetangga yang mengepungnya. Ketika perang
berakhir, Israel berhasil menguasai West Bank dan Jerusalem timur (yang tadinya
dikuasai Jordan) serta Gaza dan Sinai (yang dikuasai Mesir) dan dataran tinggi
Golan. Pascaperang enam hari, fokus
kelompok-kelompok perlawanan Palestina sedikit berubah, yaitu membebaskan Jalur
Gaza dan Tepi Barat dari pendudukan Israel sebagai langkah awal kemerdekaan seluruh
Palestina.
Persoalan utama
yang terjadi antara Israel dan Palestina menurut Halliday adalah adanya
perebutan status Jerussalem sebagai kota suci tiga agama. Saling klaim
Jerusalem ini menjadi salah satu ganjalan dalam proses perdamaian di Timur Tengah
hingga kini.Ganjalan lain yang menghambat proses perdamaian antara Israel dan
Palestina adalah kebijakan Israel membangun permukiman Yahudi di wilayah
pendudukannya.
Akhirnya,
secara keseluruhan Halliday belum mampu mengkaji secara komprehensif berbagai
persoalan yang terjadi di berbagai negara sekitar Timur Tengah terkhusus yang
terlibat langsung pada saat perang Arab-Israel. Hal ini saya rasa penting untuk
dimengerti oleh pembaca karena pergeseran peta sosial politik di suatu kawasan
tidak akan mampu digambarkan hanya dengan menarik satu contoh negara saja. Selain
itu, Halliday juga tidak secara eksplisit menjelaskan dinamika persoalan yang
terjadi di Palestina dalam berbagai perspektif pendekatan. Akibatnya pembaca
akan dibawa pada satu frame yang sama tanpa mampu mengelaborasi
penyebab-penyebab konflik lain di sana.
Buat lebih berguna, kongsi: