By: Rakhmat Abril Kholis
Berbicara
mengenai prospek integrasi regionalisme timur tengah senantiasa dihadapkan pada
perdebatan antara pihak yang optimis dan pesimis. Negara Timur-Tengah hingga
kini masih disibukkan dengan problem keamanan dan kedaulatan yang tidak kunjung
tuntas dan semakin kompleks dengan kehadiran para aktor eksternal. Turbulensi
konflik dalam kawasan ini secara tidak langsung menghambat kerjasama ekonomi.
Implikasinya wilayah Timur-Tengah belum tertular oleh maraknya gejolak free
trade area (FTA) dan pasar bersama di berbagai wilayah lain seperti ASEAN,
Uni Eropa, Mercosur, NAFTA, dan lain-lain, sekalipun minyak merupakan komoditas
yang sangat potensial, sehingga wajar jika organisasi regional yang masih eksis
dalam wilayah timur hanyalah Liga Arab dengan segala problematikanya.
Liga Arab menjadi
contoh regionalisme di wilayah Timur-Tengah yang menarik untuk disimak lebih
lanjut seiring perubahan peta politik tahun 2011. Perpolitikan Timur-Tengah
dihiasi oleh serangkaian pergantian rezim yang terjadi dalam tempo yang cepat.
Beberapa nama besar seperti Husni Mubarak, Muammar Qadhafi, dan Ben Ali yang
tersohor karena langgengnya kekuasaan mereka akhirnya tidak kuasa membendung
gelora kudeta dari rakyatnya. Tentu pergolakan besar tersebut memancing para
akademisi untuk mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam Liga
Arab yang tidak bisa menolak keterlibatanya dalam serangkaian krisis tersebut.
Kaum yang optimis
memandang jika pergantian rezim kontemporer melalui gerakan revolusi bertajuk Arab
Spring yang dimulai 18 Desember 2010 sebagai prospek yang baik bagi
pembentukan regionalisme Timur-Tengah. Hal tersebut karena transisi
pemerintahan dari otoriter ke demokrasi akan membuat sikap negara-negara Arab
untuk lebih moderat. Sebaliknya, pihak yang pesimis mengasumsikan pergantian
rezim menjadi pertanda buruk, karena ketidakstabilan politik tidak akan normal
dalam tempo waktu yang singkat, sehingga akan mengganggu intensitas kerjasama
yang terjadi. Instabilitas yang semakin diperumit oleh munculnya negara-negara
lainya yang turut mengintervensi. Menelaah regionalisasi di kawasan ini menjadi
lebih menarik saat kita menyimak bahwa femomena pergantian rezim politik yang
masif terjadi di beberapa negara Timur-Tengah. Diantara dualisme perdebatan
tersebut, tulisan ini hendak mengelaborasi kembali pertanyaan tentang apakah
pergolakan pergantian rezim yang terjadi akhir-akhir ini dapat mendorong
regionalisme Liga Arab ke arah yang lebih terintegrasi atau malah justru
sebaliknya?.
Kekuatan
rakyat (people power) di Timur-Tengah menjadi contoh kasus yang
menunjukkan adanya aspirasi dari masyarakat untuk merubah sistem ekonomi pasar
bebas tersebut. Namun yang menjadi problem adalah negara yang diharapkan mampu
menjadi institusi dalam mengatur pasar bebas ternyata seingkali tidak stabil.
Sepanjang sejarahnya, Timur-Tengah menjadi bukti adanya hubungan MNC yang
intensif bersinergi dengan kekuasaan otoriter, sehingga banyak yang pesimis
sistem neoliberalisme sebagai rezim bisa diakhiri melalui people power.
Gerakan sosial tersebut justru dibutuhkan demi metamorfosa kapitalisme seiring
dengan adanya rencana investasi asing ke wilayah Timur-Tengah. Keterkaitan
antara neoliberal dan gerakan sosial tersebut berdampak pada proses demokrasi
dan good governance. Pemikiran neoliberal memberikan preskripsi mengenai
urgensi munculnya institusi demokratis di mana masyarakat secara aktif
dilibatkan dalam artikulasi pemerintahan, sehingga wajar jika Bank Dunia dan
IMF acapkali membiayai proyek demokratisasi dan good governance
sekalipun mendapat pertentangan yang keras di Timur-Tengah.
Pandangan liberal
berkeyakinan bahwa intensitas people power muncul karena didorong oleh
kemajuan informasi dan media, sehingga muncul sebuah pertanyaan besar terutama
jika dibandingkan dengan kasus Timur-Tengah. Terdapat sebuah anomali karena
Timur-Tengah dengan kemajuan informasi yang masih belum berkembang justru masif
dalam melakukan gerakan sosial. Sebaliknya, negara-negara Asia Timur dengan
perkembangan informasi yang lebih masif, namun ternyata kurang intensif
terjadinya gerakan sosial. Bahkan Cina dengan tingkat perkembangan informasi tertinggi
di Asia malah menjadi contoh sebaliknya di mana perkembangan informasi yang
pesat tak kuasa mengurangi dominasi negara yang luar biasa dalam merepresi
gerakan sosial. Dengan kata lain, isu kesenjangan teknologi (digital divide)
dan demokrasi yang dikemukakan tidak sepenuhnya tepat.
Sudah
menjadi pemberitaan umum bahwa tahun 2011 adalah tahun keemasan gerakan sosial.
Tidak terhitung banyak sekali gerakan sosial yang terjadi di penjuru dunia pada
tahun 2011, mulai yang paling fenomenal, yakni Arab Spring di
Timur-Tengah yang berhasil mengkudeta rezim otoriter di negaranya, kemudian
dilanjutkan dengan gerakan sosial berbasis perekonomian global di mana diwarnai
dengan kemunculan gerakan bernamakan occupy sebagai respon atas kondisi
paska krisis 2008. Gerakan occupy merupakan gerakan transnasional yang
terjadi di banyak negara yang tepengaruh oleh gerakan occupy Wall Street di
New York.
Namun gerakan rakyat
yang fenomenal mengiringi tahun 2011 bisa jadi menjadi sebuah paradoks. Sebuah
gerakan yang mengatasnamakan perlawanan terhadap neoliberalisme, namun
menggunakan instrumen neoliberalisme, yakni media massa dan informasi. Gerakan occupy
menjadi sangat bergantung pada sektor informasi karena tidak adanya basis
ide transenden yang jelas dimiliki. Implikasinya, banyak gerakan yang dinilai
hanya sekedar ikut-ikutan, bahkan dalam perkembanganya occupy malah
semakin memperluas agendanya, sehingga kurang fokus pada isu kesejahteraan.
Setelah itu muncullah sebuah wacana yang perlu dipikirkan kembali dalam fenomena
gerakan occupy tahun 2011.
Gelora Arab
Spring yang terjadi sebatas merubah perpolitikan Timur-Tengah dalam ruang
lingkup nasional, belum merasuk pada konteks regional. Proses pergantian rezim
yang sedang berada pada masa transisi nyatanya belum sepenuhnya mendorong Liga
Arab untuk lebih terintegrasi. Hal tersebut karena problem politik timur-tengah sejatinya bukan semata hanya terletak pada siapa
yang menjadi pemimpin negaranya. Siapapun pemimpin negaranya ketika masih
menyimpan antipati terhadap perbedaan kultural dan ideologi, maka ambivalensi
identitas kolektif masih akan menghambat proses integrasi dan
institusionalisasi Liga Arab.
Ketika Liga Arab
dituntut untuk semakin terintegrasi kedalam, justru negara Timur-Tengah sedang mengikuti tren regionalisme
kontemporer yang cenderung menafikan batas-baras geografis dan kultural demi
kepentingan ekonomi jangka pendek. Liga Arab pasca terjadinya krisis global
2008 justru aktif mengedepankan kerjasama ekonomi antar sesama negara Selatan
dengan Cina, Rusia ketimbang melaksanakan kooperasi dengan sesama negara
anggota Liga Arab. Implikasinya sikap Negara Liga Arab untuk memperluas
pergaulan dengan dengan entitas di luar regional mereka justru memperlemah
pergaulan yang akan memperekatkan mereka secara internal, padahal problem utama
Liga Arab, yakni identitas kolektif dapat teratasi dengan memulai kerjasama
sesama anggota. Terlebih tuntutan rakyat paska gelombang demokrasi
tersebut menitikberatkan pada problem ekonomi.
Buat lebih berguna, kongsi: