Critical Review and Reflection Understanding Cultures and Implicit Leadership Theories Acrross the Globe: an Introduction to Project GLOBE
Robert
House, Mansour Javidan, Paul Hanges, Peter Dorfman
(Studi
Komunikasi antar Budaya yang Dilakukan oleh Hary Tanoe Sudibyo,
Ketua Umum
Perindo)
oleh Rakhmat Abril Kholis, S.Sos[1]
Presiden Amerika Serikat John
Kennedy dan Presiden Meksiko Adolfo Lopez Meteos bertemu di Meksiko tahun 1962.
Ketika mengendarai mobil, Kennedy memperhatikan jam tangan Presiden Meksiko. Kennedy
pun memuji Lopez:: “Betapa indahnya jam tangan Anda.” Lopez segera memberikan
arlojinya kepada Presiden Amerika seraya berkata,”Jam tangan ini milik Anda
sekarang.” Kennedy merasa malu karena pemberian itu. Ia berusaha menolaknya,
namun Presiden Meksiko menjelaskan bahwa di negerinya ketika seseorang menyukai
sesuatu, sesuatu itu harus diberikan kepadanya—kepemilikan adalah masalah
perasaan dan kebutuhan manusia, bukan milik pribadi.” Kennedy terkesan oleh
penjelasan itu dan menerima arloji itu dengan rendah hati. Tak lama kemudian,
Presiden Lopez berpaling kepada Presiden Amerika dan berkata: “Aduh, betapa
cantiknya istri Anda,” yang dijawab oleh Kennedy: “Silakan ambil kembali jam
tangan Anda.” (Condon dan Yousef,1985;89).[2]
...”culture is communication and
communication is culture.”—Edward T. Hall (1959)
Percakapan
Presiden AS John Kennedy dan Presiden Meksiko Adolfo Lopez secara tersirat
telah mengambarkan sebuah proses pengenalan budaya melalui metode bahasa
Semantik Linguistik[3] dalam
wilayah aktivitas politik. Metode komunikasi antar budaya dan sekaligus teknik lobbying yang kerap kali digunakan oleh
pemimpin-pemimpin dunia demi menjalankan kepentingan negaranya (national interest). Sebagaimana yang
diterangkan oleh Edward T. Hall (1959) bahwa budaya adalah komunikasi dan
komunikasi adalah budaya, komunikasi antar budaya telah lama menjadi variabel
dominan dalam sejarah pergaulan umat manusia hingga sekarang, baik dalam
hubungan sosial politik, ekonomi, militer, agama, organisasi kemasyarakatan, dan
lain sebagainya.
Robert
House dkk dalam Journal of World Business
(2002) ini menyajikan analisa peran strategis budaya dan implikasinya terhadap studi
kepemimpinan. Projek penelitian yang menyertakan 61 negara di dunia dengan
corak budaya dan tipologi kepemimpinan yang berbeda melalui sebuah program Global Leadership and Organizational
Behavior Effectiveness (GLOBE). Dengan visi mencari sintesa dari
keberagaman nilai dan praktik budaya di berbagai negara (variety of countries), GLOBE mengurai enam karakterstik atribut
kepemimpinan global berdasarkan riset dan komparasi budaya di antara ribuan sample para pimpinan perusahaan global.
Program
‘mega-riset’ GLOBE ini dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang sangat
komprehensif. Memberdayakan banyak sumber daya manusia baik dari kalangan
peneliti, para pimpinan perusahaan, hingga karyawan atau anggota yang terdapat
dalam lingkungan organisasi tersebut. Dengan skema multi-fase, multi-metode, dan
multi-sample, riset ini berbasis
investigasi, pembangunan teori empiris demi menjelaskan, memahami dan
memprediksi secara dalam hubungan antara budaya masyarakat, budaya organisasi,
dan kepemimpinan dalam organisasi. Mengambil ruang analisa hingga ke tataran
demografi etnik, agama di tiap negara, kondisi sosial politik dan pertumbuhan
ekonomi sehingga dapat menyimpulkan indikasi keadaan fisik dan psikologi dari
seorang pemimpin. Termasuk juga memahami kebiasaan dan budaya spesifik dari
seorang pemimpin serta aktivitas dalam organisasi.
Para
peneliti pada jurnal ini fokus melihat isu lintas budaya (cross-cultural issues) sebagai kunci dalam memahami konektifitas
antara culture dan leadership styles. Mereka sepakat bahwa
terkandung universalitas dalam memandang tiap pola kepemimpinan (universality of leadership patterns). Seperti
halnya yang dikemukakan oleh Lammers dan Hickson (1979) serta Child, Keiser,
dkk (1979) bahwa pengaruh budaya dan bangunan sejarah seperti halnya tradisi,
nilai, norma, bahkan, ideologi lebih berdampak besar dalam pembentukan fondasi
kepemimpinan, kerjasama tim, moralitas, dan juga komitmen dalam sebuah
organisasi.
Dalam
perspektif GLOBE, seperti yang diterangkan oleh Simonton (1994), kepemimpinan
dalam ruang organisasi dimaknai sebagai kemampuan dari seorang individu untuk
mempengaruhi, memotivasi, dan mengajak para anggotanya untuk terlibat dalam
efektifitas dan suksesi organisasi. GLOBE hanya berfokus pada ruang
kepemimpinan organisasi bukan dalam lingkup yang lebih luas. Demikian juga
definisi budaya dalam ranah kajian GLOBE lebih mengedepankan pada proses
penyebaran motif, nilai, keyakinan, identitas, dan interpretasi dari tiap
kejadian signifikan dalam ruang lingkup lintas pengalaman dan lintas generasi
demi terciptanya kolektifitas. Mereka menggunakan indikator common cultural attributes dalam melihat
sisi sebaran nilai kolektif di wilayah organisasi.
Kompleksitas
konsep penelitian yang dilakukan oleh Robert House dkk ini secara sederhana
terbagi menjadi tiga bagian utama, pertama
poin-poin sembilan dimensi budaya yang diterangkan dalam Table 1 Culture Construct
Definition and Sample Questionnaire Items seperti, Power Distance, Uncertainty Avoidance, Humane Orientation, Collectivism
I, Collectivim II, Assertiveness, Gender Egalitarianism, Future Orientaion, dan
Performance Orientation. Enam dimensi
ini merupakan definisi konstruksi budaya dalam wilayah kerja organisasi yang
dibandingkan dengan hasil observasi dan penilaian dari para kontributor.
Kedua,
penelitian ini menjelaskan lebih lanjut tentang model konseptual yang digunakan
oleh GLOBE dalam meneliti posisi budaya dalam proses kepemimpinan organisasi.
GLOBE memadukan empat teori dalam perumusan model ini antara lain, Implicit Leaderhsip Theory, Value/Belief Theory of Culture, Implicit
Motivation Theory, dan Structural
Contingency Theory of Organizational Form and Effectiveness.Integrasi
keempat jenis teori ini dijelaskan secara sistematis oleh Robert House dkk
melalui diagram integrasi teori seperti yang terdapat di dalam jurnal
penelitian.
Ketiga,
GLOBE menyimpulkan enam dimensi kepemimpinan global (Global Leadership Dimensions) berdasarkan hasil riset dari ratusan
corak atribut dan kebiasaan pemimpin termasuk sifat, skill,
kehiduapn/kebiasaan, dan kemampuan mengelola situasi darurat dan efektifitas
organisasi. Enam dimensi yang diasosiasikan dalam Culturally Leadership Theory (CLT), antara lain:
1.
Charismatic/Value-Based
Leadership;
2.
Term-Oriented
Leadership;
3.
Participative
Leadership;
4.
Humane-Oriented
Leadership;
5.
Autonomous
Leadership;
6.
Self-Protectives
Leadership.
Pada
intinya, GLOBE menawarkan sebuah mekanisme model analisa terintegrasi dalam
mengamati posisi dan keterlibatan budaya di ranah kerja kepemimpinan
organisasi. GLOBE memahami bahwa nilai budaya sangat terhubung dengan mekanisme
kerja organisasi, konsep kepemimpinan, daya saing ekonomi masyarakat, dan
keadaan manusia (human condition)
dalam sistem struktur organisasi.
Penelitian
pada jurnal ini secara umum lebih memprioritaskan pada sosialisasi dna
publikasi program serta hasil riset dari GLOBE yang dirumus oleh Robert House
dkk. Penelitian besar yang dilakukan di banyak wilayah negara dengan mengambil sample proses kepemimpinan perusahaan di
banyak penjuru dunia. Penelitian ini sangat mengambil tempat kontras dengan
definisi kepemimpinan dan budaya serta interaksi budaya dalam aktivitas
kepemimpinan dalam sumber akademik mainstream.
Dari perspektif definisi pemimpin dan budaya, penelitian ini memiliki
perspektif khusus yang akan memberikan kesimpulan tersendiri dibandingkan
penelitian-penelitian dengan tema yang sama sebelumnya. Misalnya definisi
budaya dalam literatur lain, budaya diartikan sebagai produk dari seluruh
rangkaian proses sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat dengan
segala aktivitasnya. Budaya seringkali diartikan sebagai semua hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat. Juga menurut E.B Taylor (Saifuddin, 2005:82)
mengemukakan bahwa budaya adalah totalitas pengalaman manusia yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
kapabilitas, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang dimiliki oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.[4] Sangat
berbeda dibandingkan definisi budaya dalam kacamata GLOBE yang sederhana dan
hanya bertumpu pada wilayah kolektifitas organisasi.
Penulis
sangat concern dalam menilai tujuan
dari paper ini dikarenakan akan
berdampak pada perbedaan asumsi dalam menyikapi fenomena pengaruh budaya
terhadap aspek kepemimpinan strategis, semisal kepemimpinan dalam ruang lingkup
jabatan politik pemerintahan, atau kepemimpinan organisasi kemasyrakatan.
Penelitian ini cenderung melihat mekanisme kerja nilai budaya sebagai ‘non-kesatuan’
nilai yang dimanifestasikan oleh beragam lintas kelas, struktur sosial serta
generasi. Penelitian ini berasumsi bahwa budaya mengambil tempat sentral dalam
ranah kepemimpinan organisasi lewat adanya transfer nilai, identitas,
kebiasaan, ideologi, dll, namun hanya pada tataran individual oriented. Sangat jauh untuk menghasilkan budaya sebagai
suprastruktur sosial yang mampu mengubah dan mewarnai pola kerja organisasi
bahkan sistem sosial yang lebih luas.
Dikarenakan
kompleksnya model yang disajikan oleh program riset ini, penulis kira banyak
hal yang malah tidak mampu diuraikan secara gamblang oleh para peneliti khususnya
bagaimana proses nilai budaya mampu masuk dan sejauh mana signifikansinya dalam
perkembangan sebuah organisasi. Penelitian ini sangat tendensius hanya pada
promosi program dan uraian metodologi riset tanpa adanya kesimpulan yang
empiris sehingga pembaca dengan mudah dapat mengambil manfaat dari hasil riset
ini.
Selanjutnya,
penulis membandingkan hasil penelitian terkait tema kepemimpinan dan budaya
dari beberapa referensi lain yang penulis temukan. Buku “Komunikasi antar Budaya: panduan Berkomunkasi dengan Orang-Orang
Berbeda Budaya” karangan Dedy Mulayana dan jalaluddin Rakhmat penulis rasa
cukup relevan dalam menjawab seluk-beluk peran strategis budaya dalam membentuk
tipologi kepemimpinan hingga fungsi budaya sebagai alat dalam melakukan
aktivitas memimpin. Pada buku tersebut diterangkan secara lengkap epistemologi,
aksiologi, dan ontologi dari budaya sebagai salah satu item dalam kepemimpinan strategis. Walaupun ditinjau secara
kompleks dari berbagai sudut pandang, buku
ini sangat aplikatif jika diterapkan dalam wilayah kepemimpinan baik di
organisasi, lembaga sosial, bahkan partai politik, dan jabatan pemerintahan
sekalipun. Budaya menjadi kesatuan nilai yang sangat membawa dampak dalam
sejarah kepemimpinan bagi tiap individu, bangsa, dan negara di dunia dari dulu
hingga sekarang.
Dalam
buku tersebut juga disinggung adanya kesalahan persepsi yang digunakan dalam
beberapa literasi terkait istilah cross-cultural
(lintas budaya). Istilah yang juga
digunakan oleh Robert House dkk (GLOBE) dalam meninjau aspek kepemimpinan.
Pengarang memprioritaskan istilah among-cultural
atau antar budaya karena terasa lebih inklusif, informal, personal, dan tidak
selalu bersifat antarangsa/antarnegara.[5].
Senada
dengan tema ini, selanjutnya penulis merefleksikan posisi budaya khususnya
komunikasi antar budaya yang dijadikan sebagai alat dan indikator kesuksesan
kepemimpinan bagi seorang individu ataupun tokoh. Dalam konteks ini, penulis mengambil
studi kepemimpinan Bapak Hary Tanoe
Sudibyo, Ketua Umum Partai Perindo yang telah lama ikut serta dalam
kontestasi perpolitikan dan kapitalisasi media massa di Indonesia.
Hary
Tanoe Sudibyo merupakan seorang keturunan Tionghoa, non-Muslim, pimpinan dari
grup media massa terbesar se-Asia yakni MNC Group, serta pendiri sekaligus
Ketua Umum Perindo sebagai partai pendatang baru yang cukup berpengaruh dan
mendapat tempat di sebagian kelompok masyarakat Indonesia. Hary Tanoe juga
termasuk sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia yang tergerak dalam
ranah perpolitikan praktis dalam partai politik.
Dalam
perjalanan karirnya, Hary Tanoe Sudibyo telah diperhitungkan oleh banyak elit
dan pengamat politik Indonesia sebagai seorang tokoh dan pimpinan media massa
yang mampu melakukan rekayasa sosial (social
engenering) secara ‘ekstream’
dengan dominansi modal media, kapital, dan loyalitas publik lewat
bantuan-bantuan sosial, responsif terhadap isu-isu kebangsaan dan
kemasyarakatan, serta mampu mengambil tempat moderat di tengah kenyataan bahwa
ia tergolong minoritas secara etnis dan agama.
Hary
Tanoe Sudibyo mulanya mendirikan media massa MNC Group sebagai corong bisnis
pribadinya, di samping sumber-sumber pendapatan lainnnya. Namun, lambat laun,
media massa yang ia pegang mampu dielaborasi sebagai sumber kekuatan baru dalam
ranah politik praktis demi mempermudah visi politiknya. Walhasil, tidak heran
jika beberapa media TV ataupun online
dan surat kabar yang ia pimpin mengambil posisi politik tersendiri dalam
menanyangkan pemberitaan ke tengah-tengah publik.
Modal
ini diperkuat oleh Hary Tanoe dengan mendirikan Perindo sebagai kanal politik
resmi yang mampu ia gunakan sebagai wadah menyerap aspirasi, melakukan
fungsi-fungsi politik, hingga menangkap suara-suara konstituen yang tidak
berhasil ditangkap oleh partai-partai lain.
Dua
kekuatan di atas yakni, media massa dan partai politik tidak menjadi akhir dari
gaya kepemimpinan seorang Hary Tanoe. Akhir-akhir ini, ia terlihat lebih
moderat dan mampu diterima oleh semua kalangan karena menerapkan metode komunikasi antar budaya dalam tiap
aktivitas yang ia lakukan. Beberapa teknik komunikasi yang sering ia lakukan
antara lain:
1. Memberikan ucapan selamat pada hari-hari
besar umat beragama di Indonesia disesuaikan dengan atribut keagamaan
masing-masing;
2. Melakukan pendekatan hingga memberi
pidato dan bantuan ke berbagai sektor kalangan masyarakat, seperti kalangan
Kyai, pesantren, dan ulama yang mempunyai kekuatan elektoral besar di
Indonesia;
3. Melakukan pendekatan sosial ke berbagai
kelas masyarakat termasuk kelas masyarakat kecil dengan memberikan banyak
bantuan sosial, usaha, dan perekrutan mereka dalam sebuah wadah komunitas kewirausahaan;
4. Melakukan pendekatan dan komunikasi
antarbudaya dengan mendatangai berbagai daerah di Indonesia lengkap dengan
atribut budaya yang khas di tiap daerah;
5. Melakukan komunikasi politik di berbagai
kalangan elit lintas ideologi, seperti ke Gerindra, PKS, dan partai politik
lainnya;
6. Melakukan sistem heterogenisasi dalam
perekrutan anggota partai politik Perindo sebagaimana yang dicontohkan dalam
model GLOBE yakni adanya konfigurasi budaya di kalangan anggota, dan sikap
pemimpin organisasi yang dapat meramu berbagai nilai demi kolektifitas kerja.
7.
Menyajikan
pemberitaan dan tayangan pertelevisian yang mampu menangkap kelas masyarakat
mayoritas Muslim di Indonesia, seperti tayangan langsung Aksi Bela Islam,
banyaknya program siaran sinetron dan ceramaha Islami di TV, dll.
8.
Mengintegrasikan
dimensi Charismatic/Value-Based
Leadership, Participative
Leadership, dan Humane-Oriented
Leadership dalam aktivitas keorganisasian yang ia
pegang;
[1]Penulis merupakan
mahasiswa pascasarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Sekolah Stratejik
dan Studi Global, Universitas Indonesia. Junior
Researcher di Center for Information
and Development Studies (CIDES) Indonesia.
[2]Deddy Mulyana dan
Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar
Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya (Bandung: Rosda,
2005), h. v.
[3]Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud Semantik Linguistik adalah studi tentang
makna yang digunakan untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa.
[4]Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), h. 52.
[5]Deddy Mulyana dan
Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar
Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya (Bandung: Rosda,
2005), h. v.
Buat lebih berguna, kongsi: