By: Rakhmat Abril Kholis
Dapat dikatakan bahwasanya hampir secara universal Amerika
Serikat kini diakui sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia dengan
keseimbangan kekuataan yang meliputi dimensi militer, ekonomi, politik,
ideologi, maupun social power. Bila dikaji lebih mendalam, kelengkapan dimensi vital yang dimiliki oleh
Amerika Serikat ini membuka peluang untuk mudahnya mengidentifikasikan
kemungkinan rivalitas dari negara lain. Meskipun pada kenyataannya sampai
dengan sekarang, negara yang berantitesa dengan Amerika Serikat masih sulit
untuk mencapai kesetaraan pengaruh Amerika di kancah global.
Gejolak yang terjadi di Amerika Serikat baik dalam
tataran ekonomi, militer, maupun public opinion terkait beberapa
kebijakan yang diterapkan, telah berdampak pada timbulnya banyak persepsi
tentang peluang runtuhnya kekuatan Amerika Serikat dalam percaturan politik
dunia. Mantan Penasihat Keamanan Nasional AS Zbigniew Brzezinski pun menyatakan
bahwasanya kini AS telah kehilangan meta-powernya. Kehilangan kekuatan dalam
mengkonstruksi cara pandang orang terhadap dunia sehingga mampu memobilisasi,
menginspirasi, dan menetapkan realitas global yang terjadi.
Leslie Gelb mencatat
munculnya kembali defisit anggaran
negara yang besar di bawah pemerintahan Presiden George W. Bush menyimpulkan
bahwa: “tidak ada bangsa dengan
hutang yang besar mampu mempertahakan kekuataan yang
besar” (Gelb, 2009, hal. 58). Pada
periode kedua kepresidenan Bush, sebuah jurnal terkemuka di AS menerbitkan artikel
dengan judul seperti “The Illusion Unipolar Revisited” (Layne, 2006) dan “The
Age of Nonpolarity” (Haass, 2008).
Artikel ini pada dasarnya menyajikan pembahasan yang lebih mendalam
serta mempertimbangkan perdebatan yang saat ini muncul terkait penurunan eksistensi Amerika Serikat. Menempatkannya pada konteks penurunan pengaruh Amerika dan warisan pada masa pemerintahan presiden
George W. Bush. Hal
ini akan memberikan gambaran dan ruang analisa yang baru bagi publik Amerika Serikat
terkait krisis yang dirasakan oleh Amerika dan lembaga-lembaga politik di dalamnya dalam kurun waktu dua
tahun pertama kepresidenan Barack Obama. Melihat pilihan-pilihan
strategis apa yang mampu ditawarkan oleh Barack Obama demi mengembalikan
eksistensi, dominansi, dan penerimaan Amerika Serikat di kancah global.
Pasca peristiwa 11 September, secara eksplisit menjadi tanda munculnya pola
baru dalam visi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Doktrin George W. Bush yang
lumrah dikenal dengan istilah War on Terrorism menjadi instrumen kuat
politik luar negeri Amerika Serikat pada masa itu hingga sekarang. Karena
merasa eksistensinya terancam, Amerika Serikat pun menjalin mitra lain demi
mensukseskan kembalinya kapasitas pengaruh yang besar terhadap dunia dan
menjadi bukti pengawalan sikap ofensif Amerika atas isu-isu di dunia.
Dapat disaksikan bagaimana sentuhan-sentuhan
AS di Afghanistan untuk membunuh atau menangkap pejuang Al-Qaeda dan para
pendukungnya di sana. Di Irak pun demikian. Atas dasar perjuangan untuk
memecahkan garis penyebaran teroris,
tiran, dan adanya teknologi pemusnah massal di sana, Amerika Serikat melakukan
invasinya. Inilah yang mengakibatkan banyak timbul stigma negatif terhadap AS
karena sudah melewati batas kedaulatan sebuah negara. Kritik pun semakin
tersebar luas baik dalam lingkup internasional maupun dari ranah domestik
Amerika itu sendiri.
Barack Obama menangkap
kekecewaan publik Amerika atas peristiwa Irak dan kebijakan luar negeri AS yang lainnya dengan menolak prinsip-prinsip inti dari
pandangan Bush. Dalam analisisnya, Bush telah gagal untuk melihat bagaimana globalisasi
berpengaruh besar dalam pergeseran dan gaya politik dunia. Globalisasi telah
menuntut sebuah negara untuk lebih mampu bekerjasama dan membatasi area-area
gerak terlebih dalam hal penggunaan kekuataan militer dalam kebijakan luar
negeri. Dibutuhkan mitra untuk mencapai tujuan dan melindungi
kepentingan-kepentingan. Dan para mitra tersebut hanya bisa dirangkul dengan penggunaan
daya diplomatik, bukan intervensi. Namun, atas semua penolakan terhadap prinsip
Bush tersebut, satu hal yang menjadi kesamaan visi antara Bush dan Obama ialah
bersama menginginkan AS sebagai pemimpin bagi negara-negara lain di dunia.
Di awal pemerintahannya,
Obama berjanji untuk mulai memperbaharui pola kepemimpinan Amerika dan ia
menyebutkan sangat mengritik gaya kebijakan luar negeri pada masa Bush. Selama pemerintahannnya, Obama cenderung
bersifat membuka diri, terlihat dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan dan
kemauan untuk mendengarkan aspirasi dari negara lain. Kerjasama akan membawa
kepada keberhasilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri. Ia berharap
kepada seluruh mitranya untuk dapat bersama mencari solusi yang tepat atas
semua permasalahan yang ada dan siapa yang harus menanggung beban
mengimplementasikannya. Amerika Serikat dapat bertransformasi sebagai sumber
solusi dan mediator yang baik terhadap seluruh kepentingan-kepentingan yang
melatarbelakangi berbagai macam konflik di dunia.
Bagaimana untuk
sukses dalam tataran dunia sementara negara-negara lain semakin mengabaikan dan bertolak belakang dengan kepemimpinan Amerika. Dapat
lebih terbuka dan mampu merangkul menjadi tantangan utama bagi Amerika Serikat
di tahun-tahun mendatang. Obama menyatakan bahwa dari dahulu hingga sekarang
kebijakan luar negeri yang ingin dicapai oleh Amerika tidak terlepas dari
kerjasama dengan entitas lain. Mengubah strategi, merevisi
prioritas, dan pembenahan misi yang secara politis dikategorikan menyakitkan serta dapat berpotensi bahaya.
prioritas, dan pembenahan misi yang secara politis dikategorikan menyakitkan serta dapat berpotensi bahaya.
Buat lebih berguna, kongsi: