oleh Rakhmat Abril Kholis[1]
“Politics who gets what,
when, and how” (Harold D. Lasswell)
”Kepentingan nasional adalah
kemampuan minimum negara untuk melindungi,
dan mempertahankan identitas
fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain.
Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan
spesifik
terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik”
(Morgenthau)
Perdamaian
dan stabilitas politik nampaknya belum terwujud dengan penuh di kawasan Asia
Tenggara. Banyak bermunculannya kelompok-kelompok gerakan ekstrimis di kawasan
Asia Tenggara yang mengganggu stabilitas keamanan kawasan menjadi diskursus
baru perihal terorisme internasional di Asia Tenggara. Begiutpun juga degan
sikap represif dan diskriminasi dari pemerintah menambah besar problem sosial
yang terjadi, salah satu diantaranya adalah Filipina.
Tingginya
intensitas konflik dan kekerasan yang terdapat di wilayah tersebut ditandai
dengan adanya kehadiran organisasi terorisme yang secara aktif melakukan
berbagai tindakan teror seperti penculikan, kekerasan bersenjata, dan
intimidasi. Organisasi yang hidup atas dasar kondisi sosial-politik negara yang
tak kunjung stabil serta hubungan dengan pemerintah yang kian renggang.
Filipina Selatan menjadi sebuah contoh yang cukup tepat untuk mengkaji
bagaimana adanya peran serta negara, organisasi bukan negara (non state), dan aktor internasional
dalam sebuah perebutan kekayaan di suatu wilayah atau negara.
A.
Pengantar Kasus
Mindanao adalah salah satu wilayah di bagian selatan
negara Filiphina yang hingga saat ini masih diselimuti dengan konflik terbuka
di tengah kehidupan masyarakatnya. Berangkat dari nilai sejarah, wilayah Mindanao sejak
dahulu telah ditempati oleh suku bangsa Moro sebagai mayoritas kelompok suku
bangsa yang mendiami wilayah tersebut. Selain itu, terdapat juga
suku lain seperti suku bangsa Marano dan Tausug. Suku
bangsa Moro secara keseluruhan menganut kepercayaan Islam yang dibawa oleh para
saudagar dan para ulama Islam yang dulu melakukan perjalaan dari wilayah Timur Tengah ke
wilayah Asia Tenggara dengan tujuan perdagangan dan dakwah Islam.
Suku bangsa Moro menjadikan wilayah Mindanao sebagai
basis perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Filiphina pada saat
peperangan melawan penjajahan yang pada saat itu di lakukan oleh negara-negara
penjajah seperti; Spanyol, Jepang dan Amerika Serikat. Degan tujuan yang hampir
sama, pada umunya, penjajahan yang dilakukan di Filiphina memiliki tujuan seperti halnya misi bangsa
Spanyol yang melakukan penjajahan guna mencari
kekayaan sumber daya alam berupa rempah-rempah dan melakukan penyebaran
ideologi atau pemikiran untuk menyebarkan ajaran Agama Kristen.
Kemunculan Amerika Serikat sebagai pemenang dalam Perang
Dunia II yang hingga kini menjadikannya sebagai negara Super Power
membawa pengaruh tersendiri dalam perjuangan masyarakat Muslim
Mindanao. Hal ini
dibuktikan dengan penyerahan kekuasaan Spanyol ke Amerika
Serikat, hingga pemberian kemerdekaan negara Filiphina oleh Amerika Serikat
pada 4 Juli 1946. Kemerdekaan yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat
terhadap Filiphina sesaat menjadikan euforia kemerdekaan seluruh masyarakat
Filiphina di tiga pulau yang menjadi wilayah kedaulatan negara tersebut antara
lain; Wilaya Manila yang saat ini menjadi Ibukota serta di jadikan pusat
pemerintahan negara Filiphina, Cebu dan wilayah Mindanao. Namun euforia kemerdekaan tersebut tidak berjalan lama setelah keinginan salah satu
wilayah yang berada di dalam kedaulatan negara tersebut berusaha untuk
memisahkan diri dan merdeka secara penuh, yaitu wilayah Mindanao dengan suku
bangsa Moro yang berada di dalamnya.
Suku bangsa Moro di Mindanao yang mayoritas memeluk
kepercayaan Islam tersebut menginginkan
kemerdekaan penuh dari kedaulatan pemerintah Filiphina dengan
mendirikan negara Mindanao yang merdeka. Tentu saja hal ini ditolak oleh pemerintah yang berkuasa atas wilayah
tersebut yakni pemerintah Filiphina yang
pada saat itu berusaha untuk mempertahankan wilayah Mindanao agar tetap menjadi wilayah
kedaulatan negara Filiphina. Hingga akhirnya timbul konflik yang berkepanjangan antara pemerintah
Filiphina dengan gerakan ‘kelompok separatis’ yang menginginkan kemerdekaan penuh di Mindanao.
Keberadaan kelompok sparatis bersenjata di wilayah Mindanao saat ini justru
terpecah hingga melahirkan beberapa kubu yang saling bertentangan.
Kelompok yang mengklaim dirinya sebagai perwakilan utama kelompok muslim dan bangsa Moro
Mindanao yaitu MILF atau Moro Islam Liberation Front dan juga MNLF yang mengakui bahwa pada saat ini merekalah yang memiliki kedaulatan penuh
untuk menjalakan otonomi khusus
yang diberikan pemerintah Filiphina. Namun
setelah perpecahan internal terjadi, muncullah
berbagai kelompok sparatis lain denga latar ideologi yang sebenarnya hampir sama seperti BIFF Bangsamoro Islamic Freedom Fighters, Abu Sayyaf, dan lain
sebagainya.
Perbedaan kepentingan menjadi satu kata kunci yang vital di
dalam konflik perpecahan kelompok pergerakan kemerdekaan Mindanao.
Perbedaan kepentingan dalam hal ini merupakan penyebab utama terjadinya pertikaian dan konflik
berkepanjangan yang menyelimuti wilayah Mindanao. Usaha-usaha perundingan yang telah dan akan dilakukan di
kemudian hari dapat diprediksi sebagai suatu langkah yang sia-sia bila perbedaan kepentingan terutama
dengan mengatasnamakan
sentiment agama dijadikan sandaran dalam memperjuangkan suatu hak
wilayah kekuasaan.
B.
Analisa Kekayaan Alam di
Wilayah Mindanao
Setelah perang
dunia ke-II, dan Pasca kemerdekaan Filipina, 4 Juli 1946 oleh Amerika Serikat,
terjadi konfilik berkepanjangan antara pemerintah Filipina dengan masyarakat
Mindanao. Masyarakat yang berpenduduk Islam tersebut dijajah oleh pemerintah Filipina
karena wilayah Mindanao memiliki sumber
daya alam yang sangat berlimpah ruah. Kontribusi Mindanao terhadap
pendapatan nasional Filipina (1990) misalnya suplai beras (25%), suplai
buah-buahan (100%), Nikel (63,00%), emas (48,30%), pertanian (38%), dan sumber
penghasil lainnya yang mendorong pertumbuhan ekonomi Filipina.[2]
Metallic and
Non-Metallic Mineral Occurrences Map of Mindanao.
Sumber: Thematic Session “Geohazards”, 49th CCOP
Annual Session
Sendai, Japan, October 22 - 23, 2013
Fakta Mindanao
Mindanao adalah pulau yang sangat kaya dalam hal sumber daya alam. 60% sampai
hampir 100% dari
tanaman utama (karet, kakao, nanas, pisang, singkong, kopi, jagung dan kelapa)
yang diproduksi di Filipina berasal dari Mindanao. Mindanao memiliki 16 sistem
sungai utama yang memproduksi ribuan ton ikan setiap hari.
Mindanao adalah
rumah bagi sumber daya mineral negara Filipina. Lebih dari setengah dari estimasi
kekayaan mineral dari Filipina ditemukan di Mindanao. Mindanao memiliki
cadangan terbesar di negara itu dari mineral yakni: Copper-5 milyar ton, Gold-3,4 miliar
ton, Aluminium-292 juta ton, dan Iron-411 juta ton.
Ekonomi: Selain emas, Mindanao
menghasilkan nikel, seng dan mangan. Pulau ini merupakan produsen terkemuka berbagai pisang, nanas, jagung, kopi dan kelapa
untuk ekspor. Produk
pertanian lainnya termasuk karet, kelapa sawit dan kapas. Rumput laut dan tuna
juga merupakan ekspor utama. Meskipun
sumber daya yang melimpah, banyak pulau di antara termiskin di negara ini.[3]
Mindanao memiliki posisi strategis bagi perekonomian
Filipina
terkait dengan sector pertanian, pertambangan, dan perikanan. Studi yang
dilakukan oleh Solimon Santos juga menunjukkan bahwa potensi sumber daya
Mindanao sangat berarti bagi pendapatan nasional Filipina. Hal ini tercermin
dalam tabel berikut.
Tabel
Kontribusi Mindanao Terhadap Pendapatan Nasional Filipina
1990
Jenis Sumberdaya
|
Kontribusi
|
Suplai beras
|
25%
|
Suplai Cattle and Tuna
|
67%
|
Suplai jagung, ayam, ikan
|
50%
|
Suplai buah-buahan
|
100%
|
Suplai Plywood, venner
|
90%
|
Nikel
|
63.00%
|
Emas
|
48.30%
|
Sumber daya hutan
|
35%
|
Pertanian
|
38%
|
Sumber: Solimon Santos, The Philippines-Muslim Dispute:
Internastional Aspects from Origins to Resolution, Quezon City, 1999
Semenjak
1970, pemerintah Marcos telah mengkomersialisasi potensi pertanian di Mindanao
dengan memfasilitasi kenaikan hingga 64,1% terhadap komersialisasi lahan
pertanian di seluruh negeri. Selain itu, daerah Mindanao memiliki sumber daya
tambang yang relative besar. Cadangan nikel terbesar dunia ditemukan di Nonoc,
sebuah pulau di pantai tenggara Surigao del Norte. Mindanao diperkirakan
memiliki cadangan biji besi sebanyak 11,6%. Emas dan perak ditemukan di Surigao
del Norte, Agusan del Norte, dan Davao del Norte. Cadangan timah dan seng juga
ditemukan di Zamboanga del Sur, sedangkan Davao Oriental memiliki 78% dari
keseluruhan cadangan khrom Mindanao, yaitu sebesar 383.000 ton metrik. Cadangan
marmer sebesar 128 juta ton metrik juga ditemukan di Davao del Norte.
Mineral-mineral non-logam yang juga melimpah di tanah air bangsa Moro adalah
lempung, sulfur, magnesit dan batu fosfat.
World Metal Statistics dalam jurnal terbitannya Mei 1980 menyebutkan bahwa Filipina
menempati peringkat 9 dan 16 dunia sebagai produsen penghasil tembaga dan emas
terbesar. Kedua mineral ini merupakan komoditias ekspor terbesar Filipina,
disusul oleh nikel, kobalt, khrom dan perak. Jepang, USA, Korea Selatan,
Belanda dan Taiwan adalah importir terbesar komoditas-komoditas mineral
tersebut.
Seluas
5,41 juta hektar hutan di Mindanao merupakan penghasil kayu. Pada Desember
1977, rezim Marcos telah mengeluarkan sebanyak 376 izin HPH dimana 188 di
antara merupakan area konsesi di Mindanao. Produksi kayu bulat Mindanao
berjumlah 72% dari total produk nasional pada tahun yang sama. Sebagian besar
aktivitas bisnis ekstraksi kayu terkonsentrasi di Mindanao. Selain itu, Laut Mindanao, Sulu dan Palawan memiliki
kelimpahan sumber daya yang luar biasa. Hampir 59% tangkapan ikan negara
tersebut berasal dari perairan Mindanao. Laut Sulu merupakan produsen terbesar
dengan nilai sebesar 34% dari total produksi nasional. Daerah tangkapan
terbesar lainnya adalah Teluk Moro dan Selat Basilan.
Berbagai
gerakan dan front dibentuk untuk memperjuangkan kemerdekaan Mindanao.
Perjuangan tersebut membentuk beberapa organisasi perlawanan Mindanao kepada
pemerintah Filipina. Organisasi tersebut didukung dan didanai oleh beberapa negara
sponsor. Misalkan organisasi Moro
National Liberation Front (MNLF) yang disponsori oleh Libya, Malaysia, dan
OKI. Sedangkan organisasi Moro Islamic
Liberation Fort (MILF) yang disponsori oleh negara Timur Tengah, Pakistan
Tebusan/ Al-Qaeda. Dan gerakan berikutnya adalah Abu Sayyaf Grup (ASG) adalah gerakan militansi rakyat dengan
kekuatan militer.
Organisasi
berafiliasi gerakan tersebut ditentang oleh pemerintah Filipina dari masa-ke
masa sampai saat ini. Rezim berganti rezim melakukan berbagai upaya untuk
bernegosiasi dengan para pejuang, namun gagal dalam bernegosiasi. Upaya
organisasi pergerakan untuk menginternasionalkan telah tercapai. Negara-negara
dan organisasi Islam internasional sudah dukung baik dalam memfasilitasi untuk
bernegosiasi pemerintah dengan Masyarakat Mindanao.[4]
Surwandono
dalam bukunya “Manajemen Konflik
Sparatisme: Dinamika Negosiasi dalam Penyelesaian Konflik di Mindanao”
memaparkan bahwa untuk menganalisa secara sederhana terkait apa yang terjadi di
Filipina dapat direlasikan dengan kasus Papua di Indonesia. Masyarakat
Moro, Mindanao dengan perjuangan OPM, masyarakat Papua mempunyai kemiripan.
Bangsa Papua didiskriminasi oleh pemerintahan Indonesia dan Bangsa Moro
didiskriminasi oleh pemerintahan Filipina. Bangsa Filipina mempertahankan Pulau
Mindanao karena sumber daya alamnya (SDA). Begitupula bangsa Indonesia,
mempertahankan wilayah Papua bagian dari NKRI karena sumber daya alamnya (SDA).[5]
Contoh paling
terkini adalah kasus pembagian jatah wilayah kekuasaan yang disepakati oleh
pihak pemerintah Filipina dengan MILF. Demi menekan potensi konflik yang lebih
besar, pemerintah Filipina sepakat berbagi kekayaan alam dengan gerilyawan
Moro. Filipina telah mencapai kesepakatan dengan kelompok gerilyawan Muslim
terbesar di negara tersebut untuk berbagai kekayaan sumber daya alam Mindanao.
Dalam laporan BBC, Front Pembebasan Islam Moro (MILF) akan menerima 75
persen dari sumber daya emas, tembaga, dan tambang lain dari pulau
selatan.
Hasil itu
didapat setelah negosiasi panjang yang mengakhiri konflik 40 tahun yang membuat
120 ribu orang tewas. Namun, kelompok tersebut tidak dalam pembicaraan tentang
berlanjutnya serangan terhadap tentara nasional. Analis Asia BBC,
Michael Bristow mengatakan, kesepakatan tersebut membuat kedua belah pihak
menemukan perjanjian perdamaian yang mengakhiri konflik panjang. Namun,
kesepakatan masih harus dilaksanakan seperti bagaimana pelucutan senjata
pemberontak dan berapa otonomi yang akan mereka dapat.[6]
Namun,
keputusan ini langsung ditentang oleh barisan kelompok lain yang berada di
Filipina Selatan, yakni MNLF. MNLF menganggap bahwa keputusan sepihak tersebut
malah bukan menyelesaikan sengketa yang ada. Kesepakatan tersebut akan
menimbulkan ketidakadilan dan pemberontak yang lebih besar nantinya akibat
perebutan sumber kekayaan alam yang terus terjadi.[7]
D.
Keikutsertaan Pihak Asing
(Negara dan Perusahaan) dalam Konflik Sosial Mindanao
Kekayaan sumber
daya alam pada kenyataannya telah menjadi daya tarik penjajah sejak 1521 hingga
saat ini. Perjuangan panjang sejarah melawan
Spanyol (1521- 1898) dan intervensi Amerika Serikat (1899- 1946) dan terhadap
neokolonialisme AS (1946 sampai sekarang) terus
menjadi momok sejarah bagi Filipina Selatan. Meskipun diberkahi dengan sumber daya
untuk mempertahankan regional dan swasembada
nasional,
mayoritas dari penduduk Mindanao tidak memiliki lahan dan hidup dalam kemiskinan. Mindanao
masih terkunci dalam konflik sejarah perlawanan rakyat terhadap intervensi
asing dan penjarahan sumber daya alam.
Konflik sosial-politik berkepanjangan di Filipina Selatan
sebenarnya berdampak cukup signifikan bagi pertumbuhan ekonomi di Filipina. Terlebih
dalam sektor yang unggul dan menjadi penopang perekonomian negara. Hal ini pun
terjadi di berbagai negara yang berkonflik namun kaya terhadap sumber daya
alam. Konflik dengan intensitas tinggi mampu menurunkan produktifitas
masyarakat, pendapatan ekonomi wilayah/negara, dan keinginan investasi dari
pihak luar.[8]
Kekayaan alam yang melimpah, disertai dengan kondisi
geografis yang sangat mendukung membuat wilayah Mindanao (Filipina Selatan)
menjadi target yang cukup menggiurkan bagi berbagai pemilik modal (perusahaan
asing) untuk mengembangkan sayapnya. Terlihat dari banyaknya perusahaan
perkebunan bahkan perusahaan pengelola buah pisang tingkat multinasionalpun
terdapat disana.[9] Di
Mindanao terdapat beberapa perusahaan besar di dunia antara lain BHP Billiton, Russell Mining Co., Xstrata,
Anglo-American, Sumitomo, Toronto Ventures, Inc., Firestone, Bridgestone, Dole
and Castle and Cook.[10]
Karena
eksploitasi asing dari sumber daya alam yang melimpah dari Mindanao, khususnya dari
perusahaan
pertambangan skala besar multinasional, rakyat Mindanao menuntut untuk adanya keadilan. Krisis HAM mencolok di
Mindanao yang memburuk membuat bantuan militer AS ke Mindanao
meningkat. Namun, bantuan militer tersebut dirasakan
oleh penduduk Mindanao sebagai bentuk intervensi asing ke wilayahnya. Hal ini
juga mengindikasikan adanya kepentingan yang kuat dari AS untuk masuk ke
Mindanao demi mendapatkan perhatian dan mempermudah niat untuk mengeruk
kekayaan alam di sana.[11]
[1][1]
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti
Junior di Center for Information and
Development Studies (CIDES) ICMI Indonesia. Pengamat Hubungan Internasional.
[4]Ibid.
[5]Surwandodno. Manajemen
Konfilik Separatisme: Dinamika Negosisasi dalam Penyelesaian Konflik di
MIndanao . (Jakarta: Pustaka Pelajar).
[7] http://historia.id/mondial/mimpi-damai-di-filipina-selatan,
diakses pada 8 April 2016.
[8]Salvator,
S, dan Mary J.“The Mindanao Conflict in
the Philippines: Roots, Costs, and Potential Peace Dividend “ (2005: Social
Development Papers Conflict Prevention and Reconstruction).
[9]http://www.freshplaza.com/article/153422/Big-banana-firms-pulling-out-of-the-Philippines, diakses pada 8 April 2016.
[11]Ibid.
Buat lebih berguna, kongsi: