Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah
proses transfer of knowledge and value (Paulo Preire).[1] Keberadaan Perguruan Tinggi telah memberikan warna, ciri khas
dan sumbangan dalam melahirkan dan pengembangan Sumber Daya Manusia yang
kompetitif, berakhlak mulia, dan religius secara personal dan interpersonal. Sehingga wajar kalau masyarakat
mencitakan Perguruan Tinggi harus menjadi pioner kelahiran sebuah Masyarakat
Madani atau Civil Society dengan berpedoman pada arti cita-cita bangsa. Untuk itu Perguruan Tinggi harus terus mendapatkan injeksi
dan dukungan dari semua pihak (pemerintah dan stateholders),
terutama dalam merancang program, kurikulum, kompetensi, dan dapat mendesign output yang siap pakai (kualitas
maupun kuantitasnya).[2]
Dalam rangka
mewujudkan masyarakat madani
dalam tatanan peran, peluang, dan tantangan yang akan civitas akademika dari
Perguruan Tinggi
diperlukan proses yang tidak mudah. Oleh karena itu, diperlukan beberapa upaya
yang harus dilakukan diantaranya dengan memberikan penyadaran dan pendidikan politik
yang optimal kepada setiap penyelenggara negara maupun warga negara. Selain
itu, juga perlu diperhatikan kendala yang dihadapi bangsa Indonesia dan upaya
mengatasi kendala-kendala tersebut.
Masyarakat madani – atau civil
society – adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik, berazas pada
prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu
dengan hak dan kewajiban sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya
pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang
transparan. Untuk
terwujudnya masyarakat madani dan sejahtera di Tanah Air harus memenuhi enam
prinsip. Keenam prinsip tersebut yaitu kemerdekaan, kebebasan, pluralisme, hak
asasi manusia yang seimbang dengan kewajiban, nilai moral dan etika dan
keadilana dan kesejahteraan.[3]
Sudah menjadi kewajiban kita
semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk
mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, di
negara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani
adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[4]
Menurut Riswandi Immawan, perguruan tinggi memiliki tiga
peranan dalam mewujudkan masyarakat madani. Pertama, pemihakan yang tegas pada
prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis,
kedua membangun mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan
tidak manipulatif. Ketiga melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara
santun dan saling menghormati.Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara
untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga
Negara, maka partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyrakat madani.
Bila kita telusuri sejarah tentang cita-cita
terbentuknya masyarakat madani, banyak kalangan yang akan mengatakan bahwa
cita-cita tersebut hanyalah “penggembira” dari ketidak-mampuan manusia keluar
dari persoalan manusia itu sendiri (dalam konteks berbangsa dan bernegara).
Sejarah orde baru mengatakan bahwa rakyat Indonesia
terbatasi dalam lingkup dunia politik, sehingga penguasa saat itu dapat
melakukan segala apa yang ia kehendaki. Sehinga yang tercipta adalah terjadinya
pendikotomian antara pemerintah (penyelenggara negara) dengan rakyat.
Arena masyarakat madani/sipil adalah
arena demokratis, karena pola pikir dan idealismenya bersumber dari kebutuhan
rakyat.[5] Kemudian timbul sebuah pertanyaan, benarkah masyarakat madani dapat
tercipta? Kami mengatakan dengan tegas “BISA”. Keinginan kuat rakyat untuk
meluruskan arah yang telah “dibelokan” oleh penyelenggara negara adalah modal
utama. Mereka yang mengatakan bahwa masyarakat madani tidak mungkin tercapai
adalah bagian dari penguasa orde baru.[6]
Pilar-pilar Penegak Masyarakat Madani yang harus dirintis oleh Perguruan
Tinggi sebagai garda terdepan pergerakan bangsa, antara lain:
a.
adanya
lembaga swadaya masyarakat,
Yang dimaksud
dengan lembaga swadaya masyarakat adalah lembaga yang didirikan secara sukarela
oleh masyarakat dalam bidang-bidang kehidupan tertentu, misalnya: pendidikan,
politik, hukum dan sebagainya dalam rangka memberikan fungsi kontrol atau
masukan kepada pemerintah agar dapat melaksanakan penyelenggaraan pemerintah
yang baik (good governance) clean
government
b.
adanya
perguruan tinggi,
Yang dimaksud
dengan perguruan tinggi adalah lembaga yang diharapkan memberikan fungsi
kontrol atau masukan kepada pemerintah melalui mahasiswa-mahasiswanya sebagai
bentuk moral force atau dukungan moral kepada pemerintah agar dapat
melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance)
c.
adanya
pers,
Yang dimaksud
dengan pers adalah lembaga yang diorientasikan sebagai alat komunikasi politik
oleh masyarakat dalam rangka memberikan fungsi kontrol atau masukan kepada
pemerintah agar dapat melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance)
d.
adanya
supremasi hukum, dan
Yang dimaksud
dengan supremasi hukum adalah menempatkan hukum sebagai kekuasaan yang
tertinggi sedemikian rupa sehingga pemerintah dapat melaksanakan
penyelenggaraan pemerintah yang baik (good
governance)
e.
adanya
partai politik
Yang dimaksud
dengan partai politik adalah lembaga politik yang didirikan secara sukarela
oleh masyarakat dalam rangka memberikan fungsi kontrol atau masukan kepada
pemerintah agar dapat melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance)[7]
Dalam konteks keindonesiaan, masyarakat madani harus dibangun
berdasarkan pada ajaran Islam (karena penduduknya mayoritas pemeluk agama
Islam). Untuk mewujudkan masyarakat madani ala Indonesia, dibutuhkan
peningkatan dakwah Islamiyah dengan sasaran penciptaan kondisi sosial, ekonomi,
budaya dan politik yang kuat pada tataran makro, sementara di tataran mikro,
diperlukan pola pikir, perasaan dan sikap individu muslim yang hanief, toleran,
dan inklusif[8]. Bila
kondisi makro dan mikro tersebut dapat berjalan bersamaan, tentu bukan hal yang
sulit mewujudkan masyarakat madani Indonesia.
Kendala yang
dihadapi bangsa Indonesia dalam hal ini Perguruan Tinggi dalam mewujudkan masyarakat madani:
a. masih
adanya sikap mental penyelenggara negara yang mengedepankan budaya
paternalistik,
b. penggusuran
tanah rakyat secara paksa, dan
c. sikap
mental warganegara yang acuh tak acuh dengan kebijakan pembangunan dan
sebagainya.
Disamping
kendala dan tantangan yang dihadapi Perguruan Tinggi dan negeri ini umumnya
yang tertera di atas, secara kultural, tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah
pluralitas masyrakat Indonesia. Pluralitas tidak hanya berkaitan dengan budaya
saja, tetapi juga persoalan politik, sosial, dan ekonomi masyarakat. Meskipun
bangsa telah merdeka lebih dari 58 tahun, namun pluralitas masyrakat masih
kurang dimanfaatkan sebagai potensi yang dinamis untuk memacu pembangunan.[9]
Selain itu, orientasi dan ketergantungan pada pemimpin
dan penguasa masih tinngi membuat kemandirian kurang berkembang.[10]
Upaya mengatasi
kendala yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani:
a.
dengan
mengedepankan integrasi nasional,
Strategi ini
berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat
yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
b.
adanya
reformasi sistem politik demokrasi, dan
Strategi ini
berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya
tahap pembangunan ekonomi
c.
membangun
masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi
Strategi ini
muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua.[11]
Dari penjabaran kendala dan upaya untuk mengatasi semua
kendala tersebut menjadikan Perguruan Tinggi sebagai wadah yang terbaik bagi
negeri ini dalam mencetak para manusia atau insan yang berkualitas dan mampu
berguna bagi bangsa dan negara. Mencetak sebuah generasi yang beradab,
berkemanusiaan, dan bercita-cita tinggi, cita-cita demi kejayaan dan
terwujudnya masyarakat negeri yang madani. Untuk
keperluan itu, maka keterlibatan kaum cendikia, LSM, ormas dan keagamaan serta utamanya mahasiswa,
mutlak adanya.[12]
Mahasiswa
sebagai akhir dari cetakan sebuah lembaga bernama Perguruan Tinggi berdiri di
negeri sebagai alat kontrol sosial yang jitu. Mahasiswa
sebagai generasi penerus diharapkan
mampu menjadi pembaru atau agent of change dalam memperbaiki kehidupan
berbangsa dan terciptanya
masyarakat impian.
Peran mahasiswa sebagai intelektual muda, berkepribadian bangsa dan mempunyai
idealisme tinggi dituntut untuk mewujudkan negara yang lebih demokratis, toleran, mempunyai jiwa yang nasionali, dan
berintegritas tinggi. Pemikirannya yang kritis, konstruktif dalam mengkritisi kebijakan
pemerintah sangat efektif sebagai alat control demi perwujudan masyarakat madaniah.
Mahasiswa
sebagai generasi penerus yang ditempah dari Perguruan Tinggi adalah calon pemimpin bangsa yang akan menerima astafet kepemimpinan. Oleh karena itu sudah seharusnya
menempa diri dengan belajar sungguh-sungguh baik ekstra kurikuler dan intra
kurikuler di lingkungan kampus agar
semakin dewasa dan terberdaya. Pembelajaran yang sinergis dan demokratis akan menghasilkan calon-calon pemimpin yang
kuat, memiliki idealisme tinggi, visi yang mapan, yang
memegang teguh etika politik, menegakkan nilai-nilai keadilan untuk mewujudkan
Indonesi Baru sehingga tercipta
pemerintah yang bersih dan bewibawa sebagaimana harapan kita.[13]
Kegagalan mewujudkan civil
society terbentur berbagai rintangan, baik rintangan eksternal maupun yang
berasal dari dalam tubuh masyarakat sendiri. Sebagian rintangan itu sebagian berasal dari lingkup makro,
seperti belum kokohnya perkembangan ekonomi dan pertumbuhan peradaban industri,
sementara transformasi dari ekonomi bazaar menuju usaha modernisasi ternyata
mengalami banyak hambatan. Dalam tubuh masyarakat sendiri, demikian ungkap
Gellner, terlihat kegagalan Barat dalam mencari pemecahan ketegangan antara
pusat keagamaan yang masih dilingkari aura magis, ritual yang berbau tahayul
dan hirarki yang sentralistik dengan arus reformasi pinggiran yang berujung
pada jalan buntu. Kondisi seperti inilah yang mempercepat proses sekularisasi
dan lahirnya civil society menurut Gellner.
Masyarakat
berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang
dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan
adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan
keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan
ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam
suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan
menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan
kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup
kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al-Mu’minun:51), agar
mereka “makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan.”[14]
Sebagai reaksi untuk perwujudan masyarakat madani di
negeri ini, Perguruan Tinggi selayaknya dikelola secara mandiri,
profesional, bebas kepentingan, dan manajemen berbasis pelayanan mesti
dijadikan prioritas untuk melahirkan masyarakat Madani. Manajemen berbasis
pelayanan merupakan kebutuhan agar mahasiswa sebagai pemanpaat layanan Perguruan Tinggi bisa
nyaman dan betah berada di dalamnya. Persamaan persepsi, visi, dan misi Perguruan Tinggi dengan Pemerintah perlu
dikonstruksi ulang sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau overlapping
kepentingan. Kebijakan Perguruan
Tinggi seharusnya pengejawantahan dari kebijakan Pemerintah secara umum.
Dengan demikian masyarakat tidak meragukan kelahiran masyarakat madani lahir dari Perguruan Tinggi di negeri ini.[15] Masyarakat Madani akan bergerak terwujud
dari kawasan para civitas Perguruan Tinggi.
[2] A. Qomarul Huda, dalam makalah yang berjudul “Mewujudkan Masyarakat Madani Melalui
Perguruan tinggi Pesantren”, 2011.
[3] BJ Habibie, pada peringatan satu tahun
acara “Managing The Nation With Tanri
Abeng” di Jakarta, Selasa, 17
Juli 2012.
[4] Masyarakat Madani ?, 20 Juni 2008,
dalam website http://madanicenter.wordpress.com, diakses pada Kamis, 27 Desember 2012.
[5] Fahri Hamzah, Negara, Pasar, dan Rakyat Pencarian Makna,
Relevansi, dan Tujuan, (Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2011), hlm.
574-575.
[7] Trisna Widyana, Masyarakat Madani (Civil Society),
(Yogyakarta: Modul Pembelajaran PKn Kelas XI Sem. 1, 2009), hlm. 4.
[8] Istilah inklusif pernah di pakai oleh Alwi Shihab dalam karyanya
“Islam Inklusif” yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. Istilah islam inklusif
diartikan sebagai sikap keberagamaan yang terbuka dan toleran dalam beragama.
[12] Hikam Muhammad AS. Islam,
Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, (Jakarta: Erlangga. 1999), hlm. 55
[13] Sigit Dwi Kusrahmadi, Peran Mahasiswa Perguruan tinggi dalam
Menciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, (Yogyakarta: Makalah),
hlm. 1.
[14] A. Qomarul Huda, dalam
makalah yang berjudul “Mewujudkan Masyarakat
Madani Melalui Perguruan Tinggi Pesantren”, 2011.
Buat lebih berguna, kongsi: