Odumeru, James A
dan Ifeanyi George Ogbonna
Osun
State College of Technology dan Yaba College of Technology, Nigeria.
oleh Rakhmat Abril
Kholis, S.Sos[1]
Artikel
dari jurnal International Review
Management and Business Research (IRMBR) ini bertujuan untuk memberikan analisis
komparatif (comparative analysis) secara
ringkas tentang teori kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dan teori kepemimpinan transaksional (transactional leadership) dengan basis
penggunaan literatur pada kedua teori tersebut. Kedua teori ini mendapatkan
perhatian yang cukup signifikan dan telah menimbulkan perbedaan penilaian dari
para peneliti. Odumeru dan Ifeanyi menyajikan jalan tengah dan perspektif baru
untuk mendefinisikan kedua teori ini melalui hasil risetnya.
Karya
ilmiah terbitan Juni 2013 ini berasumsi bahwa secara konsep dan praktik, teori
transformasional dan transaksional memiliki perbedaan. Namun, beberapa elemen
dalam kepemimpinan transaksional berkemungkinan untuk ada (exists) dalam ruang kepemimpinan transformasional. Studi
kepemimpinan dengan kemampuan memproses kapasitas pengaruh individu untuk
mewujudkan kolektifitas mencapai tujuan dalam organisasi ataupun negara
dianggap mempunyai wilayah yang dinamis untuk dikaji. Peran serta dua tipe teori
tersebut dalam menyikapi fenomena kepemimpinan telah menjadi arus utama bagi
para peneliti sejak tahun 1980an hingga sekarang.
Mengutip
dari beberapa peneliti lain seperti Bass dan Avolio (1994), Lowe (1996), dan
seterusnya, Odumeru dan Ifeanyi berkeyakinan bahwa kepemimpinan transaksional
secara signifikan menaruh pengaruh terhadap kepemimpinan transformasional. Baik
dalam level individu, grup, ataupun organisasi. Mereka mengambil istilah dari
Weihrich (2008) bahwa “transactional
leadership is subset of tranformational leadership.”
Odumeru
dan Ifeanyi dalam hasil risetnya secara sederhana memaparkan teori kepemimpinan
transformasional beserta kelemahannya sebagai berikut:
1. Robbins dan Coulter (2007) menerangkan
bahwa pemimpin transformatif mempunyai kemampuan menstimulasi dan
menginsipirasi pengikutnya demi mewujudkan the
extraordinary outcomes;
2. Berfokus kepada pembangunan kualitas
individu, kesadaran, dan penyelesaian masalah (problem solving);
3. Mampu menularkan motivasi, membangun
moralitas, dan peningkatan performa anggotanya melalui berbagai pendekatan;
4. Karismatik, inspiratif, intellectual stimulation, dan mempunyai
atensi tinggi terhadap individu (Warrilow);
5. Memiliki ambiguitas dalam menilai
pengaruh dan proses (Yukl, 1999). Teori ini lemah dalam menjelaskan hubungan
antara kepemimpinan dengan output
positif dalam kerja;
6. Hanya bertumpu pada penilaian pengaruh
pemimpin kepada individu bukan terhadap eksistensi kelompok dan proses
berorganisasi, serta pemberdayaan sumber daya yang ada. Selain itu, teori ini
belum mampu secara spesifik membedakan karakteristik situasi dalam wilayah
kerja organisasi, tidak adanya strata dan aturan organisasi yang padu sehingga
terjadi ambiguitas dalam transisi kepemimpinan nantinya;
7. Teori ini cenderung menyajikan tipe
kepemimpinan yang disebut oleh Odumeru dan Ifeanyi sebagai “the heroic leadership stereotype.”
Dibandingkan
dengan teori transformasional, teori transaksional dinilai oleh Odumeru dan
Ifeanyi lebih mengarah kepada tipe managerial
leadership. Fokus terhadap aktivitas supervisi dalam organisasi dan
performa kelompok. Dalam teori ini, pemimpin dilihat sebagai seorang yang
bekerja bukan dalam kerangka jangka panjang/masa depan, namun lebih mempertahankan
ritme lingkungannya. Tipe kepemimpinan ini sangat efektif dalam menghadapi
krisis dan situasi darurat dikarenakan pola pengaturan kerja yang sudah mapan
dan tersistem.
Teori
transaksional sangat menilai hasil dari aktivitas organisasi. Reward and punishment, directive and action-oriented menjadi
instrumen utama dalam menggerakkan anggota sehingga pencapaian target bisa
maksimal. Efektif dalam pembagian tugas individu sesuai dengan kapasitasnya dan
memastikan tugas tersebut dapat selesai sesuai dengan yang diinginkan. Pemimpin
transaksional akan lebih concern pada
proses dibandingkan ide yang futuristik. Managerial
style dalam tipe kepemimpinan ini sangat tepat diaplikasikan dalam spektrum
lower-level, berbeda halnya dengan
teori transformasional yang lebih aplikatif jika diterapkan dalam level
kepemimpinan tingkat tinggi (high-level).
Tipe ini disebutkan oleh Odumeru dan Ifeanyi sebagai “think inside the box” dalam merespon situasi, cenderung pasif, dan
terus menjaga status quo.
Definisi
dari Odumeru dan Ifeanyi serta Douglas McGregors’s Theory Y and Theory X
tentang transformasional dan transaksional teori memiliki perbedaan yang
signifikan dari pengetahuan khalayak secara umum. Kebanyakan orang mendefinisikan
kepemimpinan transformasional dan transaksional itu dengan perspektif yang
sangat sederhana. Kepemimpinan transformasional sering kali diartikan sebagai
tipologi pemimpin yang terlahir dari proses dan kepemimpinan transaksional
adalah jual-beli status kepemimpinan. Dua definisi yang sudah lazim namun
berbeda konteks dengan yang dimaksud oleh para peneliti dalam artikel ini.
Secara
keseluruhan, dua peneliti ini telah berusaha cukup baik dalam mengurai karakteristik
dari dua tipe teori kepemimpinan tersebut. Namun, ada beberapa hal yang menurut
penulis menjadi catatan dalam penelitian ini. Pertama, Tidak adanya gambaran umum atau studi kasus yang
menjelaskan tipe kepemimpinan ini secara lebih aplikatif. Seperti halnya teori
transformasional yang diterangkan oleh N.M Tichy dan M.A. Devanna dalam “The Transformational Leader” terbitan
New York 1986, yang meneliti 14 orang pemimpin dalam dunia bisnis antara lain
seperti Jack welch, John Harvey-Jones, dll yang telah menujukkan suksesi
kepemimpinannya pada tingkat yang berbeda-beda.[2]
Kedua,
penjelasan teori transformasional dirasa masih kurang terpadu, belum mampu
menggambarkan secara unik di mana letak karakter dasar dari tipe kepemimpinan
ini. Burns dalam karyanya “Charismatic
Leadership,” (1978) dengan tegas menyatakan bahwa tipe kepemimpinan
transformasional sangat dekat dengan tipe kepemimpinan kharismatik. Sebagaimana
yang dicontohkan oleh Burns, kepemimpinan transformasional tepat jika
disandingkan ke Mahatma Gandhi. Sosok kharismatik, yang mengedepankan nilai dan
moralitas sehingga berdampak pada masyarakat secara luas. Burns menyatakan
bahwa semua pemimpin kharismatik adalah pemimpin transformasional.[3]
Ketiga,
belum adanya jawaban secara spesifik dari Odumeru dan Ifeanyi terkait
pernyataannya bahwa “transactional
leadership is subset of tranformational leadership.” Pernyataan ini seharusnya
didukung juga dengan uraian yang komprehensif sehingga dapat menambah
pengetahuan serta asumsi baru bagi pembaca. Peran serta transaksional teori
dalam membentuk sistem kepemimpinan yang transformasional dan atau kolaborasi
kedua teori ini untuk menghasilkan mekanisme kepemimpinan yang ideal, baik di level
organisasi maupun negara.
[1]Penulis merupakan
mahasiswa pascasarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Sekolah Stratejik
dan Studi Global, Universitas Indonesia. Junior
Researcher di Center for Information
and Development Studies (CIDES) Indonesia.
[3]Lihat di www.changingminds.org/...
“Burns’s Transformational Leadership Theory”. Dikases pada September 2017.
Buat lebih berguna, kongsi: