Peran Strategis Muhammadiyah sebagai Aktor Non Negara (Non State Actor) dalam Proses Perdamaian di Filipina Selatan



oleh Rakhmat Abril Kholis[1]

            Politik luar negeri tidak selamanya dilakukan oleh aktor berbentuk negara. Aktor non negara yang biasa disebut dengan non state actor atau non-govermental organization (NGO) juga mempunyai peran yang strategis dalam mencapai visi dari sebuah negara, terutama visi untuk ikutserta dalam menjaga perdamaian dunia. Semakin beragamnya corak konflik di dunia internasional kini, menuntut aktor internasional untuk dapat mencari instrumen yang tepat demi terwujudnya win-win solutions bagi kedua belah pihak yang bertikai. Organisasi non pemerintah adalah salah satu dari bagian dari instrumen alternatif itu.
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, pastinya mempunyai pengaruh yang sangat kuat kedalam maupun keluar bagi perumusan politik luar negeri Indonesia. Termasuk diantaranya adalah peran Ormas ini dalam menangani konflik luar negeri yang terjadi di beberapa negara. Konflik sosial-politik di Filipina Selatan menjadi bukti adanya peran serta yang sangat strategis bagi NGO/Ormas di Indonesia dalam hal ini Muhammadiyah dalam memediasi aktor-aktor penting yang berkonflik sehingga permasalahan yang terjadi bisa ditemukan titik solusinya.

  1. Muhammadiyah dan Hubungan Internasional
By the 1920s the Muhammadiyah was the dominant force in Indonesian Islām and
 the most effective organization in the country.[2]
Muhammadiyah dalam menatap dunia Internasional selalu memberikan rekomendasi dan prakarsa terhadap konflik dan isu Islam Internasional. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah dalam mengembangkan organisasinya di dunia Internasional.[3] Muhammadiyah era kepemimpinan Prof Dr H M Din Syamsudin mempunyai hubungan yang lebih intens dengan dunia internasional. Beliau menjadi pimpinan organisasi kerjasama antar bangsa dan antar agama yang berskala internasional. Beliau antara lain menjadi Chairman Wordl Peace Forum (WPF), Presiden Asean Committee on Religion for Peace (ACRP), Honorary President World Conference on Religion for Peace (WCRP), dan jabatan lainnya di forum dunia. Hubungannya tidak sekadar seremonial, tetapi aktif mendialogkan berbagai pemikiran Islam dan perdamaian, serta memprakarsai pemecahan konflik seperti di Mindanao Philipna Selatan, dan lain-lain.
Isu internasionalisasi penting bagi Muhammadiyah. Orientasi mendunia internasional, orientasi menatap ke dunia luar (out world looking) itu sudah dimulai Muhammadiyah, bahkan sejak kelahirannya. Hasil-hasil Kongres Muhammadiyah tahun 30an, 40an, 50an sampai terakhir, selalu ada bagian dari rekomendasi penting tentang dunia Islam. Dalam berita media-media Muhammadiyah, juga selalu ada tentang dunia Islam. Jadi, orientasi tentang dunia Islam ini juga cukup kuat dimiliki oleh Muhammadiyah.
Itulah orientasi luar negeri Muhammadiyah. Muhammadiyah juga memberikan pembelaan sejati terhadap kemerdekaan Palestina. Orientasi ke dunia internasional itu semakin kuat, selain dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi, pernyataan keberpihakan, tetapi sudah sedikit dikembangkan menjadi engagement, enforcement, yang sifatnya terlibat. Kalau tadi sekadar ekspresi lewat rekomendasi, tetapi sejak tahun 2000an sampai sekarang, Muhammadiyah telah memasuki wilayah yang agak bersifat terlibat lebih aktif  memberikan solusi dalam masalah-masalah internasional. Langkah baru tersebut dapat dianggap sebagai go international.
Muhammadiyah juga telah mampu mendirikan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM). Tercatat sekarang ini ada Lembaga Hubungan Luar Negeri. Lembaga ini sudah terlibat mendirikan PCIM PCIM, Ada sekitar 18 negara yang diakomodir oleh PCIM ini.  Namun selain itu, ada organisasi saudara (Sister Organization). Yaitu organisasi saudara yang bernama Muhammadiyah tetapi tidak punya hubungan organisatoris dan struktural dengan Muhammadiyah di Indonesia.
Muhammadiyah juga sudah mulai terlibat di dalam berbagai conflict resolution. Terutama untuk penyelesaian konflik di Mindanao dengan menjadi anggota Member of Contact Group, terdiri 8 pihak. Empat pemerintah yaitu Inggris, Jepang, Turki, dan Saudi Arabia. Sedangkan empat organisasi internasional, dua di antaranya Muhammadiyah, dan the HD Centre and Conciliation Resources. Peran Muhammadiyah sangat dihargai di sana, terutama bisa menjembatani aspirasi-aspirasi pemerintah Filipina kepada MILF dan sebaliknya, aspirasi MILF kepada pemerintah Filipina.[4]
Muhammadiyah pernah memfasilitasi dialog dan pertemuan para stakeholder kasus Filipina Selatan di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Beberapa delegasi dari stakeholder yang ada diantaranya, MILF (The Moro Islamic Liberation Front), MNLF (The Moro National Liberation Front), Staf khusus Presiden Filipina utuk Hubungan Politik, Henry Dunant Centre, Muhammadiyah, akademisi, dan beberapa lembaga yang terlibat dalam implementasi perdamaian untuk Bangsamoro di Universitas Muhammadiyah Surakarta,  Jum'at (05/04/2013).
Menurut wakil ketua Lembaga Hubungan Luar Negeri Muhammadiyah yang juga delegasi Muhammadiyah untuk perdamaian Filipina Selatan Sudibyo Markus, Muhammadiyah sengaja memfasilitasi pertemuan yang bertajuk Multistake Holders Dialogue on Bangsamoro, untu lebih mengkongkritkan jalan panjang yang telah ditempuh menuju perdamaian di Filipina Selatan. “Saat ini kami berkonsentrasi untuk membentuk dasar konstitusi wilayah khusus Bangsamoro di Filipina Selatan, hal tersebut merupakan kelanjutan telah ditandatanganinya kesepakatan bersama antara pemerintah Filipina, MNLF, MILF, dan lembaga – lembaga internasional yang turut memfasilitasi terciptanya perdamaian, termasuk Muhammadiyah di dalamnya,” ungkapnya.
Sudibyo Markus mengungkapkan, sebelumnya Muhammadiyah telah terlibat secara aktif melakukan perundingan di antara pihak yang bertikai, termasuk mendamaikan dan menyamakan persepsi antara MILF dan MNLF. Muhammadiyah diharapkan mampu menjadi perwakilan organisasi masyarakat Islam demi terwujudnya masyarakat madani di Dunia Islam dan ikutserta mengatasi berbagai bentuk pertikaian di dunia dewasa ini.[5]



B.     Peran Muhammadiyah dalam Konflik di Filipina Selatan
(Status Keanggotaan ICG)
Konflik terbuka antara pemerintah Filipina dan Bangsamoro mulai berlangsung sejak akhir tahun 1960-an. Konflik ini dipicu oleh adanya perpindahan penduduk Luzon dan Visayas ke Mindanao yang dirancang dalam program kebijakan Pemerintah. Bangsamoro merasa terpinggirkan dengan adanya pendatang tersebut (Guerra, 2010). Perpindahan ini menyebabkan munculnya sengketa lahan, pergeseran kekuasaan, perpindahan ekonomi dari Bangsamoro ke pendatang, dan stereotip dari pendatang terhadap Bangsa Moro (Guerra, 2010). Akibatnya, Bangsamoro kehilangan status dan rasa hormat di wilayah mereka sendiri. Hal ini memicu timbulnya kebencian Bangsamoro terhadap pemerintah.
Kebencian ini memicu terbentuknya kelompok-kelompok pemberontak di Mindanao. Salah satu kelompok pemberontak yang sangat berpengaruh di Mindanao adalah MILF (Moro Islamic Liberation Front) yang dibentuk oleh Salamat Hasim pada tahun 1984. MILF merupakan kelompok bersenjata yang berjuang memperjuangkan kepentingan rakyat Mindanao yang berusaha membebaskan Bangsamoro dari pemerintah Filipina dan mendirikan negara sendiri berbasis Islam.
MILF telah melakukan berbagai serangan. Serangan ini memakan banyak korban terutama rakyat sipil. Hal ini menyebabkan pemerintah Filipina mengupayakan adanya jalan damai. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan berbagai negosiasi dengan pimpinan MILF sejak tahun 1996.
Berbagai pihak telah berusaha membantu proses damai di Filipina seperti Malaysia dan OKI (Organisasi Kerjasama Islam). Namun, bantuan tersebut selalu mengalami kegagalan. Kegagalan ini melatarbelakangi terbentuknya kelompok mediasi yaitu ICG (International Contact Group) yang telah dibentuk dan disetujui oleh kedua pihak.
ICG merupakan badan ad-hoc yang dibentuk oleh Pemerintah Filipina dan MILF pada tanggal 4 Desember 2009. ICG terdiri dari empat negara yaitu Inggris, Turki, Jepang, Arab Saudi dan empat NGOs (Non-governmental Organizations) yaitu Muhammadiyah, Conciliation Resources, The Henry Dunant Centre atau Humanitarian Dialog Centre, dan The Asia Foundation. Masuknya ICG dalam penyelesaian konflik di Mindanao telah menghasilkan kemajuan. Kemajuan yang dapat dilihat secara jelas yaitu dengan adanya.[6] Banyaknya mediator yang bekerja sama untuk membantu proses perdamaian antara pemerintah Filipina dan MILF disebut sebagai mediator multipartai.
Peran yang dilakukan oleh ICG merupakan peran fungsional yang didasarkan pada fungsi dan mandat yang telah diberikan oleh pemerintah Filipina dan MILF. ICG mempunyai fungsi untuk menghadiri dan mengawasi negosiasi; melakukan kunjungan, pertukaran pandangan, dan memberikan pandangan; membantu mencari bantuan seperti ahli dan narasumber; dan menghadiri permintaan pertemuan dari pemerintah Filipina dan MILF (Conciliation Resources, 2009). Mandat ICG adalah untuk menerapkan pandangan yang telah disepakati oleh kedua pihak, untuk menentukan sistem kerja, dan melanjutkan peran dan fungsi untuk menjamin kesuksesan implementasi (Conciliation Resources, 2009).[7]

Tabel 1.1 Peran Individu dan Kolektif ICG

No
Anggota ICG
Peran yang dilakukan



1
Inggris
Reassurer, Unifier,


Enhancer



2
Turki
_



3
Jepang
Convener, Enhancer



4
Arab Saudi
_



5
Muhammadiyah
Explorer, Unifier,


Enskiller, Convener



6
Conciliation
Explorer, Enskiller,

Resources
Facilitator, Enhancer



7
Humanitarian
Explorer, Reassurer,

Dialogue Centre
Convener, Facilitator,


Envisioner, Enhancer



8
The Asia
Explorer, Unifier,

Foundation
Enskiller, Facilitator,


Enhancer




Keikutsertaan Muhammadiyah

Muhammadiyah accepted the invitation to join the ICG as “in line with the mission and identity of Muhammadiyah as an Islamic movement.” They are very committed as part of the ICG and never miss a single round of peace talks. They have convened multiple activities in Indonesia to increase social awareness and political support for the Mindanao peace process. They have invited the MILF, GPH and ICG to peace events in Indonesia, and have done some bridging between the MILF and MNLF. They have conducted exploratory visits to Mindanao to identify how best they can contribute with their expertise in human development. Their major constraint is their lack of a formal mandate to do international collaboration, and therefore have limited human and financial resources.[8]
Untuk membantu menyelesaikan konflik dibutuhkan multi track diplomacy dalam artian membuka peluang kepada kelompok diluar dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik misalnya seperti Non Governmental Organizations (NGOs) ataupun Civil Society Organizations (CSOs). NGOs dan CSOs bisa disebut sebagai non profit organization. Contohnya peran organisasi Muhammadiyah dalam misi perdamaian di Filipina Selatan. Dalam misi perdamaian tersebut mereka tokoh Muslim melakukan pertemuan dengan tokoh Budha guna meningkatkan peran kedua agama dalam ikut menyelesaikan konflik dan mewujudkan perdamaian dikawasan tersebut.[9] Disamping itu, NGOs dan kelompok kerja Civil Society mereka relatif bersifat netral dan bebas dalam menjalankan kegiatan dari tekanan golongan/kelompok kepentingan dan lebih mudah untuk mencapai tujuan perdamaian. NGOs dan CSOs akan membuka jalan perdamaian dengan pemahaman yang menguntungkan antara muslim dan kristen di Mindanao.
Untuk memahami berbagai keluhan dan keinginan Bangsamoro, Muhammadiyah membuat misi scoping ke Mindanao yang terdiri dari Dr. Sudibyo Markus (Lembaga Hubungan Luar Negeri Muhammadiyah), Prof. Imam Robandi (Majelis Pendidikan Dasar Menengah), Dr. Surwandono (perwakilan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Dra. Tri Astuti (Pimpinan Pusat Aisyah, Organisasi Perempuan Muhammadiyah), dan Drs. Ahmad Ma’ruf (Majelis Pemberdayaan Masyarakat).
Misi tersebut dilakukan pada 12– 21 Juni 2011 dan bertujuan untuk mengetahui hal yang diperlukan oleh Bangsamoro untuk memetakan masalah dan mencari solusi yang tepat. Peran Muhammadiyah untuk memetakan masalah dan memberikan beberapa pilihan solusi dapat dikatakan sebagai explorer. Mereka mendatangi masyarakat Mindanao secara langsung untuk melihat lebih jauh mengenai kehidupan mereka. Segala hal yang dapat dilakukan oleh Muhammadiyah dituangkan dalam Muhammadiyah Road Map 2020 untuk Bangsamoro. Road Map tersebut berisi tentang program pendidikan, kesehatan, perempuan, dan sosial ekonomi untuk Bangsamoro yang rencananya akan diselesaikan sampai tahun 2020. Saat ini Muhammadiyah sedang mengimplementasikan program tersebut yang direncanakan akan selesai pada tahun 2020 (Syamsuddin, n.d).
Road Map 2020 Muhammadiyah digunakan sebagai acuan untuk melakukan perannya sebagai enskiller. Muhammadiyah telah mendatangkan tenaga ahli medis dan guru ke Mindanao untuk berbagi pengalaman mereka dalam mengelola rumah sakit dan sekolah (Syamsuddin, n.d). Berbagi pengalaman tersebut dilakukan secara langsung dengan mengadakan praktek sehingga Muhammadiyah dapat dikatakan enskiller bukan enhancer. Upaya Muhammadiyah mendatangkan tenaga medis dan guru merupakan rencana awal dari untuk melancarkan usaha pembangunan rumah sakit dan sekolah Muhammadiyah untuk Bangsamoro.
Untuk menjalankan perannya sebagai enskiller, Muhammadiyah memiliki kendala dalam hal biaya. Hal ini dikarenakan oleh “jam terbang” Muhammadiyah yang belum selebar anggota ICG yang lain. Apalagi kegiatan ini dilakukan di luar negara yang memerlukan banyak biaya untuk melaksanakan program-program yang telah direncanakan untuk mendukung proses perdamaian di Filipina Selatan.
Kendala tersebut diubah menjadi tantangan oleh Muhammadiyah. Untuk menghadapi tantangan tersebut Muhammadiyah telah melakukan beberapa promosi kemitraan. Promosi ini dilakukan dengan donor dan lembaga-lembaga kemanusiaan baik badan bilateral maupun multilateral di Indonesia maupun diluar Indonesia untuk mendapatkan bantuan dana (Syamsuddin, n.d). Dana ini akan digunakan oleh Muhammadiyah untuk menjalankan program-programnya di Mindanao, Filipina Selatan.
Muhammadiyah juga memiliki peran sebagai unifier yaitu dengan mempersatukan dua kelompok sparatis yang paling kuat di Mindanao, MNLF dan MILF. Muhammadiyah melakukan peran ini dengan menyelenggarakan pembicaraan informal antara pemimpin inti MNLF dan MILF. Hal ini menjadi penting karena perjanjian MILF-Pemerintah Filipina ini akan menggantikan ARMM yang telah disepakati oleh pemerintah Filipina dan MNLF tahun 1996. MNLF dan MILF dianggap satu yaitu sebagai Bangsamoro (Fisas, 2012).
Muhammadiyah bekerjasama dengan Kemenlu (Kementerian Luar Negeri) Indonesia, CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations), dan Cheng Ho Multi Cultural and Education Trust mengadakan pembicaraan informal sebagai bagian dari WPF (World Peace Forum) di Bogor, Jawa Barat pada 23 – 25 November 2012 (Syamsuddin, n.d). Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh ketua OPPAP yaitu Teresita Dalas untuk mengawasi jalannya perundingan tersebut. Pertemuan ini menghasilkan perjanjian pengembangan Joint Road Map MNLF dan MILF yang telah disepakati sebelumnya dengan pemerintah Filipina.
Dalam rangka mempersatukan MNLF dan MILF, Muhammadiyah juga diminta membantu memfasilitasi penyelenggaraan pertemuan MILF dengan ketua MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia) yaitu Taufik Kiemas. Pertemuan ini dilakukan di Jakarta pada 23 Februari 2012. Pertemuan ini bertujuan untuk mendengarkan nasehat dan pendapat dari tokoh Indonesia yaitu Taufik Kiemas tentang proses perdamaian yang sedang dilakukan antara pemerintah Filipina dan MILF. Muhammadiyah telah dipercaya untuk menjembatani pertemuan antara MILF dan Taufik Kiemas di Jakarta atas permintaan kedua pihak (Republika, 2012). Dengan menyiapkan pertemuan tersebut, Muhammadiyah dapat dikatakan berperan sebagai convener. Berbeda dengan peran unifier, dalam peran ini, Muhammadiyah membantu dalam bidang teknis saja.[10]
Peran serta Muhammadiyah sebagai Ormas Islam besar di Indonesia untuk terus ikutserta dalam menjaga perdamaian dunia hingga saat ini menjadi acuan yang tepat bagi berbagai Ormas lain agar melakukan hal yang sama. Selain menjadi promotor bergeraknya fungsi dakwah Isalmiyah (penyebaran nilai Islam) di dalam negeri, Muhammadiyah telah mampu menjadi bagian elemen aktor internasional yang berperan aktif untuk menjadi mediator bagi penyelesaian konflik di suatu negara, terlebih di negara-negara yang bersentuhan dengan nilai /identitas Islam.


[1]Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti Junior di Center for Information and Development Studies (CIDES) ICMI Indonesia. Pengamat Hubungan Internasional.  
[2]http://www.britannica.com/topic/Muhammadiyah., diakses pada 13 April 2016.
[6]Heny, Istiqomah. Peran Internasional Contact Group Dalam Mediasi Konflik Antara Pemerintah Filipina Dan Moro Islamic Liberation Front Tahun 2009 – 2012. (2012, Universitas Udayana). h. 1-2.
[7]Ibid., h. 7-8.
[10]Ibid., h.11-13.
Buat lebih berguna, kongsi:
close
CLOSE [X]