Gambar karikatur yang diterbitkan oleh Majalah Tempo
Sumber: https://www.jpnn.com/news/klarifikasi-tempo-soal-karikatur-pria-beserban-batal-pulang
Stereotype dan Prasangka dalam Komunikasi
Antar Budaya:
Studi Kasus Karikatur Habib Rizieq yang
Menimbulkan Protes FPI
terhadap Majalah Tempo
Rakhmat Abril Kholis, S.Sos[1]
Abstraksi
“Prejudice is the child of
ignorance.” William Hazlitt[2]
Tulisan ini akan
membahas secara ringkas relevansi sebuah teori dengan fakta sosial yang terjadi
di tengah masyarakat. Mengangkat dua elemen penting dalam proses kehidupan
masyarakat yang mampu membawa dampak baik atau buruknya suatu hubungan antar
entitas. Dua diantara teori tersebut adalah Stereotype dan Prasangka.
Stereotype dan Prasangka merupakan dua
dari ribuan tingkah laku manusia di dunia. Wujud dari beragamnya karakter dan
latar belakang kehidupan seorang ataupun sekelompok manusia. Menjadi bagian dari
faktor penentu harmonisasi hubungan sosial yang terdapat di tengah masyarakat
yang terdiri atas beragam suku, agama, etnik, dan golongan.
Tulisan ini akan
menggali bagaimana kedua teori ini melihat fenomena yang terjadi antara Majalah
Tempo dan Front Pembela Islam (FPI) pasca penerbitan gambar karikatur pimpinan
FPI, Habib Rizieq dalam salah satu kolom berita Tempo sehingga memunculkan
protes secara kolektif oleh gerakan massa berlatarideologi Islam ini.
Keywords: Stereotype, Prasangka, Protes, FPI, Tempo, Habib Rizieq
“Massa FPI: Tempo
Harus Minta Maaf, Kalau Tidak Kami Sikat.[3]” Begitulah judul yang dilansir dari
media cnnindonesia.com pada
16 Maret 2018 yang lalu. Ratusan massa dari Front Pembela Islam (FPI)
mendatangi kantor Majalah Tempo menuntut adanya klarifikasi dan permintaan maaf
dari mereka disebabkan telah menghina Imam Besar FPI, Habib Rizeiq Shihab dalam
sebuah gambar karikatur yang menunjukkan beliau dengan seorang perempuan dengan
tulisan tertentu. Massa menganggap Tempo telah melakukan penghinaan terhadap
pimpinan mereka dan menyatakan siap berdarah-darah sampai Majalah Tempo minta
maaf.[4]
Jika ditelisik lebh
lanjut, pertentangan antara Tempo dan FPI ataupun sebaliknya telah berlangsung
lama. Hal ini terbukti dengan banyaknya referensi otentik yang menyebutkan
adanya ketidakharmonisan hubungan dan komunikasi antar dua institusi yang
berbeda ini. Antara kelompok organisasi kemasyarakatan dan media massa mainstream.
Beberapa contoh seperti pada Aksi Bela
Islam, demonstrasi FPI yang ricuh,[5] Sweeping oleh FPI[6], pengecapan teroris,[7] dan lain sebagainya yang mengindikasikan
adanya sentimen dan anggapan sinis dari satu kelompok terhadap kelompok lain.
Samovar (2009)
menjelaskan makna stereotype sebagai suatu keyakinan yang terlalu
digeneralisasikan, terlalu disederhanakan, atau terlalu dilebih-lebihkan
mengenai suatu kategori atau kelompok tertentu.[8] Ia menjelaskan bahwa stereotype
merupakan bentuk generalisasi mengenai karakteristik yang khas dalam suatu
kelompok. Muncul ketika kategori telah dibebani penilaian yang relatif
subjektif.[9]
Selanjutnya, Samovar
(1981) menerangkan mengenai prasangka sebagai sikap kaku terhadap suatu
kelompok orang, berdasarkan keyakinan atau pra-penilaian (pra-konsepsi) yang
salah. Pra penilaian ini tetap tidak mudah diubah walau terdapat pengetahuan
baru tentang hal tersebut. Selanjutnya, ia menerangkan manifestasi dari
prasangaka antara lain:
1. Antilokusi:
berbicara dengan teman atau orang lain mengenai sikap, perasaan, pendapat, dan stereotype
pada kelompok tertentu;
2. Penghindaran
diri;
3. Diskriminasi;
4. Serangan fisik;
5. Permusuhan;[10]
Berdasarkan manifestasi
tersebut, fenomena yang terjadi antara Tempo dan FPI sangat relevan jika
dikaitkan dengan konsep stereotype dan prasangka. Hal ini disebabkan
karena dari definisi stereotype maupun kelima unsur manifestasi
prasangka yang diurai oleh Samovar sebagian besar menjawab persoalan yang
terjadi. Tempo dalam banyak hal telah melakukan sebuah aktivitas yang dinamkana
stereotyping dan prasangka terhadap suatu kelompok tertentu atas dasar
yang tidak cukup objektif dan lebih disebabkan oleh sikap permusuhan, labelling,
dan diskriminasi, sehingga berujung pada dikeluarkan banyak rilis ataupun
gambar pemberitaan yang cenderung provokatif seperti yang telah diberikan
datanya di atas.
Selain itu, dari segi
manfaat prasangka sebagaimana yang diterangkan oleh Samovar, Porter, dan
McDaniel (2010;174-175)[11], bahwa prasangka berfungsi
untuk memenuhi ego-defensive, fungsi utilitarian, ekspresi nilai, dan pengetahuan,
Majalah Tempo secara jelas telah memenuhi dari keempat fungsi prasangka di atas
berdasarkan rekam jejak pemberitaannya selama ini. Tempo telah melakukan proses
media framing demi menegaskan sikap mereka terhadap aktivitas
sebuah kelompok sebagai bentuk memberikan pengetahuan, pembenaran, pertahanan
diri, dan ekspresi nilai bahwa mereka lebih di atas dari kelompok yang
ditujukan.
[1]Merupakan
mahasiswa pascasarjana Program Studi Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian
Stratejik dan Global, Universitas Indonesia. Peneliti di Center for
Information and Development Studies (CIDES) Indonesia.
[2]Lihat
di https://www.brainyquote.com/topics/prejudice. Diakses pada Maret
2018.
[3]Lihat
di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180316145151-20-283613/massa-fpi-tempo-harus-minta-maaf-kalau-tidak-kita-sikat.
Diakses pada Maret 2018.
[4]Lihat
di http://www.tribunnews.com/nasional/2018/03/17/fpi-siap-berdarah-darah-sampai-majalah-tempo-minta-maaf.
Diakses pada Maret 2018.
[5]Lihat
di https://metro.tempo.co/read/612112/unjuk-rasa-berakhir-ricuh-fpi-salahkan-ahok.
Diakses pada Maret 2018.
[6]Lihat
di https://nasional.tempo.co/read/50061/fpi-akan-terus-sweeping-tempat-hiburan.
Diakses pada Maret 2018.
[7]Lihat
di https://nasional.tempo.co/read/621455/pengamat-paham-fpi-mirip-kelompok-teroris. Diakses pada Maret
2018.
[8]Puspitasari,
5 Kaitan Persepsi dengan Stereotype dan Prasangka, [Pdf] (2018, Depok:
Universitas Indonesia), hal. 4.
[9]Ibid.,
hal. 6.
[10]Ibid.
[11]Ibid.,
hal. 7.
Buat lebih berguna, kongsi: