Sekulerisme dan liberalisme menjadi topik
pembicaraan hangat seluruh kaum intelektual
muda yakni mahasiswa saat ini. Tidak tahu mengapa. Mahasiswa yang
seharusnya fokus terhadap jurusan yang digelutinya sekarang berpindah alih
sementara menjadi pemikir dan pencari informasi seputar topik tersebut. Ya, bahkan
bisa dikatakan telah menjadi trending
topic sehingga mengalahkan isu-isu kontemporer (contemporer issues) dunia internasional yang terjadi. Bagaimana ini
bisa terjadi? Dan apa tanggapan Anda tentang ini?
Sebagai
seorang mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
notabennye adalah salah satu kampus yang acap kali mengeluarkan bahkan
menimbulkan konflik-konflik atau isu yang berkaitan tentang nilai-nilai sekulerisme
dan liberalisme ini, secara pribadi memaparkan kepada pembaca yang budiman
sebuah kondisi terkini (factual condition)
yang terjadi dan menurut saya tidak terbantahkan keraguannya.
Apa
itu sekuler? Apa itu liberal? Mengapa ada di kampus ini? Mengapa ini, mengapa
itu? Menjadi buah bibir seluruh mahasiswa terutama mahasiswa baru yang memang
sering kali ingin banyak tahu akan situasi tempat ladang ilmunya. Pemahaman
yang masih sedikit dan kefanatikan yang luar biasa membuat sebagian mahasiswa
menjudge dengan sikap anti patinya.
Memulai
pergelutan kampus dengan berbagai isu-isu berbahaya dan menakutkan, tetapi bagi
segelintir orang, ini adalah hal yang
biasa dan tidak menjadi rahasia umum lagi. Secara istilahnya bisa dikatakan
seperti ini. “Tingkat pencarian informasi selama seminggu pertama masa
perkuliahan tentang isu-isu liberalisme dan sekulerisme di kampus-kampus
tertentu mencapai angka yang menakjubkan”. Sedikit berlebihan tetapi kembali
lagi bahwa ini adalah fakta.
Mengenai
liberalisme, sekulerisme dan apapun itu yang lagi hangat-hangatnya sekarang
seharusnya disikapi dengan pemikiran dan kematangan diri. Sikap ingin tahu yang
tinggi diselaraskan dengan penanaman aqidah
atau keyakinan diri agar tidak terbelenggu hanya karena permasalahan kompleks
ini.
Sedikit
memberi pengetahuan kepada pembaca sekalian, liberalisme berasal dari dua
artian kata yakni Liberal yang berati
bebas dan isme yang sering diartikan sebagai suatu keyakinan atau aliran.
Secara gamblangnya, liberalisme adalah bentuk pemikiran bebas akan sesuatu yang
dalam hal ini adalah agama (religion).
Semua bisa diartika atau ditafsirkan secara bebas (itu menurut saya). Paham ini
mengajarkan kepada pengikutnya (sebutan kasarnya) sika-sikap toleran (pluralistic) yang berlebihan. Semua
agama dianggap sama karena sama-sama mengajarkan kebaikan. Sehingga bagaimanapun
caranya pluralisme harus ditegakkan.
Anehnya,
pemikiran-pemikiran seperti itu disadur bukan oleh manusia-manusia yang
berlatarbelakang pendidikan rendah tetapi sebaliknya. Pemikiran seperti itu
dianut oleh manusia-manusia yang berintelektual tinggi. Dengan berbagai gelar
di depan maupun di belakang namanya, mereka mensyiratkan bahwa paham ini perlu
diterapkan. Bukan bermaksud menyebutkan seseorang, tetapi kembali lagi bahwa
ini adalah fakta.
Beralih kepada
Sekulerisme. Sedikit berbeda sebutan dengan liberalisme tetapi inti maknanya
sama. Sekulerisme berasal dari kata Secular
yang berarti duniawi dan isme
yang seperti disebut di atas yakni sebuah keyakinan atau aliran. Menurut
istilah, Sekulerisme adalah bentuk pemikiran dimana menerapkan pendidikan kepada hal-hal duniawi
(bukan keagamaan) dan memisahkan antara agama dan negara. Paham ini mempunyai historical background yang panjang. Penerapan
paham ini di Indonesia bermula pada masa pemerintahan orde lama yakni masa
pemerintahan presiden Soekarno. Pemahaman yang dianut berdasarkan keberhasilan
penerapan Revolusi di Turki oleh seorang Mustafa
Kemal Attaturk yang menjadikan negara Turki yang semula berbentuk kerajaan
Islam (Islamic monarchy) berubah
menjadi Republik dalam hal ini ialah negara sekuler (secular state). Prestasi itulah yang diterapkan Soekarno dalam
rancangannya yang berbentuk nilai-nilai Pancasila.
Para
cendikiawan islam pada saat itu seperti H. Agus Salim, K.H. Mas Mansyur dsb,
menolak dengan tegas dan mengusulkan agar diterapkannya sila Keislaman dalam
bingkai NKRI. Selanjutnya terbentuklah sebuah konvensi atau konsepsi
yang dinamakan Piagam Jakarta. Semula sila Piagam Jakarta yang disebutkan “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Tetapi setelah terjadi perdebatan
dan perundingan panjang maka sila tersebut diubah menjadi “ Ketuhanan yang Maha
Esa” yang sekarang tekonsep secara keseluruhan menjadi dasa-dasar Pancasila.
Menyikapi
dari keseluruhan sejarah panjang ini, dari seluruh bentuk-bentuk konspirasi dan
disintegrasi pemhaman ini selayaknya kita artikan secara bijak bahwa memang
negara ini terdiri berbagai bingkaian suku, agama dan ras yang berbeda. Tetapi
tidak selayaknya kita merubah paradigma pandangan kita menjadi paradigma yang
keluar dari konsepsi dasar keislaman kita. “Lakum diinukum waliyadin” yang
tercantum dalam Al Quran seharusnya kita artikan sebagai pemahaman untuk
menghargai agama lain dan tidak memaksakan agama kita kepada orang lain. Bukan
perilaku menyamakan keseluruhan agama sehingga tidak ada batasan dan perbedaan
lagi antar agama.
Akhirnya,
sebagai seorang mahasiswa yang tercipta untuk perubahan (agen
of change) sudah selayaknya kita bersikap kritis dengan bijak. Maksudnya yakni
dapat membedakan apa yang sebenarnya yang harus dan wajib dikritisi dan yang
tidak perlu dikritisi. Mewarnai hari-hari dengan perilaku yang ahsan disertai intelektualitas yang
tinggi dan memahami seluruh aspek kehidupan dengan tidak bersifat terlalu fanatis akan sesuatu hal.
Wallahu a’lam bish shawab.
Rakhmat Abril Kholis
A-Class
of International Relations ‘12
Buat lebih berguna, kongsi: