Politik Kemanusiaan (the Humanitarian
Politics) sebagai
Fatsun Perilaku Politik Muslim Negarawan demi
Mewujudkan Proyeksi
Kejayaan Indonesia 2045[1]
“Politik dalam Islam bukanlah rimba belantara
yang memberi kebebasan bagi yang diamanahi kuasa untuk bertindak membabi-buta.
Bukan medan pertarungan yang kuat menghardik yang lemah” (Tamsil Linrung)
Dimulai
pada akhir era 70-an, bangsa-bangsa di Dunia Ketiga sekali lagi berada pada
permulaan masa perubahan politik yang penting, yaitu berakhirnya rezim-rezim
pemerintahan otoriter digantikan oleh rezim-rezim pemerintahan baru yang lebih
demokratis. Mereka mengalami apa yang oleh Huntington sebut sebagai “Gelombang
Demokratisasi Ketiga,” yaitu adanya transisi dari rezim-rezim non demokratis ke
rezim-rezim demokratis yang terjadi pada kurun waktu tertentu dan jumlahnya
secara signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah sebaliknya. Sebuah
gelombang biasanya juga mencakup liberalisasi atau demokratisasi sebagian pada
sistem-sistem politik yang tidak sepenuhnya menjadi demokratis.[3]
Tren
pergeseran kultur berpikir terkait sistem pemerintahan yang ideal inilah yang
lambat-laun membawa pada perspektif baru bagaimana pola meramu
kegiatan-kegiatan kenegaraan lewat instrumen politik sehingga mampu diterima
oleh kebanyakan manusia dalam sebuah sistem pemerintahan dan mengecilkan
peluang lahirnya penolakan atau pertentangan dari masyarakat. Hal inilah yang
banyak dimaknai oleh negara-negara di dunia sebagai modernitas internasional (international
modernity) yang secara alamiah harus diimplementasikan di dalam kehidupan
domestik negara tersebut.
Atifete
Jahjaga, mantan Presiden Kosovo pernah berujar bahwa demokrasi harus mampu
dibangun melalui karakter masyarakat yang terbuka (democracy must be built
in open societies), dengan keterbukaan informasi dan perdebatan atau percaturan
politik yang sehat demi melahirkan titik terang, solusi bagi setiap
permasalahan-permasalahan kebangsaan. Kondisi demokrasi dengan nuansa berpolitik
yang hangat dan transparan inilah pada akhirnya mampu mengurangi peluang terjadinya
tindak pidana korupsi, kemiskinan, dan perilaku kejahatan sosial lainnya.
Cita-cita
mulia politik dengan instrumen demokrasi ternyata ‘jauh panggang dari api’. Faktanya,
rancangan politik di negeri ini belum menemukan ruang makna yang baku.
Etape-etape politik Indonesia diwarnai dengan berbagai cita rasa politik
menurut selera para elit pemegang kendali kekuasaan. Oleh sebagian besar
pelakunya, politik dianggap sekadar sebagai satu medan aktualisasi sehingga ia
kerap hadir tanpa substansi. Sepintas, hal ini dapat kita baca dari perilaku
para politisi yang mengkristal menjadi opini publik: “politik itu kotor.”
Demikianlah, frase ini sering kita dengar dari masyarakat yang terserang
pandemi apatisme terhadap politik akibat informasi yang salah dan tidak utuh
yang beredar bebas di tengah-tengah masyarakat.[4]
Atas
problem yang terjadi di hampir seluruh negara demokratis tersebut, dirasa perlu
kiranya bangsa ini mempunyai perhatian serius agar mampu mendorong terciptanya
atmosfer perpolitikan yang sejuk, bersih, dan mendatangkan sebanyak-banyaknya
kemaslahatan bagi umat. Untuk mencapai itu semua, dibuthkan sumber daya manusia
muda yang unggul dan berani membawa mainstream dalam kancah perpolitikan
Indonesia.
Narasi
besar kejayaan Indonesia 2045 sepertinya akan penuh halang-rintangan. Faktanya,
di tengah meruahnya berbagai persoalan kebangsaan, pemuda sebagai inti dari
rangkaian generasi produktif bangsa seringkali mengalami problem identitas yang
berpotensi menggiring pada lemahnya ikatan-ikatan sosial di antara mereka dan
masyarakat. Mereka banyak mengalami gejala disorientasi sosial terhadap fungsi
dan perannya sebagai pelaku perubahan sebagaimana yang dikatakan oleh Mahfudz
Siddiq dengan istilah ‘avant garde’-nya pemerintahan negeri ini. Pemuda
semakin kental citranya sebagai kelompok masyarakat yang mudah sekali
diprovokasi dan dimobilisasi untuk kepentingan-kepentingan individu atau
kelompok tertentu.
Jean
Baudrillard seorang filsuf postmodernisme menyebut bahwa masyarakat era kini
hidup dalam identitas hibrida, dimana identitas masyarakat ini adalah gambaran
dari percampuran antara identitas-identitas yang sangat kompleks yang hadir di
masyarakat. Jean mengandaikan bahwa masyarakat tidak ada yang memiliki
identitas tunggal dan baku. Dalam proses percampuran itu, pemuda menjadi
kelompok yang paling potensial mengalami problem identitas, karena kelompok ini
paling rentan terhadap perubahan. Hanya saja, perubahan identitas itu akan
mengarah pada peneguhan identitas baru atau memang menghilangkan sama sekali
identitas yang telah lama dimiliki oleh para pemuda. Dari situasi ini tentu
saja kita menginginkan perubahan yang ada mengarah pada peneguhan identitas pemuda
yang kukuh terhadap berbagai ancaman apapun[5] termasuk
yang utamanya adalah ancaman disorientasi dalam proses pergulatan politik
kebangsaan.
Atas
dasar itu, dirasa perlu bagi seorang pemuda khususnya masyarakat Muslim pelaku
perubahan bagi negara dan bangsa mengetahui posisi sentral mereka dalam
menunjang terciptanya atmosfer stabilitas kehidupan berbangsa-bernegara lewat
aktualisasi perilaku politik yang humanis, visioner, bersih, dan
bertanggungjawab (berintegritas). Hal ini lah yang menjadi alasan kuat
dimunculkannya ide ‘politik kemanusiaan’ (the Humanitarian Politics)
sebagai arus baru fatsun perilaku berpolitik anak muda dan kalangan masyarakat
Muslim menengah untuk turut serta secara aktif menjadi motor perubahan stigma
buruk politik yang selama ini menghantui masyarakat secara umum ke arah yanng
lebih memanusiakan manusia.
Istilah
politik kemanusiaan sepertinya asing didengar oleh khalayak masyarakat dalam
ruang negara demokratis karena seringkali terjebak oleh filosofi Harold D.
Laswell bahwa politik hanya sebatas siapa yang mendapat apa, kapan, dan
bagaimana. Tidak ada ruang-ruang untuk mencitrakan politik sebagai instrumen
yang mampu bergerak secara humanis, menyentuh sisi-sisi terdalam dari seorang
manusia sehingga kebermanfaatan kan terasa, kesejahteraan diperjuangkan, hingga
kedamaian domestik dalam berbangsa akan mudah diwujudkan. Politik kemanusiaan
ini harusnya dimaknai sebagai metode yang kuat dan holistik demi menyajikan referensi-referensi
aktor politik yang cakap dan mampu menjadi pemimpin yang adil bagi keseluruhan
entitas negara.
Gagasan untuk
mengembalikan makna filosofis dan spiritual politik ke dalam praktik yang
sebenar-benarnya harus terus kita upayakan. Politik yang berbasis nilai dan
substansi, elaborasi falsafah politik moral dengan politik Islam, yang
selanjutnya akan menjadi gagasan menarik dalam kerangka humanisme. Dalam hal
ini faksun ‘politik kemanusiaan’ menjadi ide dan oase di tengah sahara
demokrasi Indonesia. Politik pun dapat menyatu dengan nilai-nilai agama sebagai
penopang utama dan menjadi bingkai perilaku politik yang lebih bermoral.
Model
kemanusiaan ini yang seharusnya terus dicoba terlebih oleh para aktor Muslim
Negarawan dalam dunia politik sebagai gagasan segar untuk keluar dari
mainstream politik yang kerap dipandang dengan stigma-stigma negatif. Kesadaran
kemanusian semestinya menjadi sahabat karib dan negara wajib untuk terlibat
aktif dalam proyek-proyek kemanusiaan. Menjamin warga negaranya terpenuhi
hak-hak dasarnya, bahkan tanpa harus bekerja memeras keringat.[6]
Gerakan
kaum muda haruslah bernafas panjang, berpikir jauh ke depan, dan justru tidak
meninggalkan fokus utamanya yakni menyiapkan generasi pengganti yang akan
memimpin perubahan. Pemikiran-pemikiran futuristik tentang masa depan Indonesia
terlebih menyongsong 2045 akan lebih matang jika ditambah dengan adanya
konsolidasi demokrasi[7] yang
pada akhirnya melahirkan benih-benih pemikiran baru tentang formula mengelola
negara lewat rekayasa politik yang lebih menyentuh sisi kemanusiaan masyarakat.
Untuk menghadapi kondisi demikian, maka entitas gerakan
mahasiswa muslim harus diset kembali sehingga compatible dengan
kebutuhan masa depan. Bahkan harus mampu menjadi model masa depan bagi gerakan
kaum muda. Hal-hal mendasar yang harus dipersiapkan sebagai infrastruktur
organisasi untuk penyiapan visi dan skenario Indonesia ke depan diantaranya
adalah tata organisasi yang modern, pola kaderisasi yang matang, fokus gerakan,
dan formulasi pemikiran yang ideologis.[8]
Maka
dari itu, wacana politik kemanusiaan (the Humanitarian Politics) ini
bukan hanya wacana basa-basi yang sekadar digulirkan tanpa adanya eksekusi
nyata di lapangan. Melihat realitas sosial politik Indonesia kini patutlah kita
sebagai generasi penerus bangsa menguatkan tekad untuk terus berikhtiar
menciptakan atmosfer perpolitikan yang sejuk melalui pemahaman yang holistik
tentang tata aturan bernegara, etika dan strategi politik dalam Islam,
pilar-pilar pembangunan umat, dan juga panduan demi meraih kemenangan dan
kejayaan Islam.
[1]Ditulis sebagai bahan
diskusi pada agenda Kajian Islam Zaman Kini (KAZANI)) “Fatamorgana Politik
Indonesia (Di Balik Tirai Kekuasaan)” pada Senin, 23 April 2018.
[2]Merupakan mahasiswa
Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia.
Peneliti CIDES Indonesia.
[3]Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi (Solo: Era
Intermedia, 2003), 35.
[4]Tamsil Linrung, Politik untuk Kemanusiaan: Mainstream Baru Gerakan
Politik Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 2014), 19.
[5]Dr. Aziz Syamsudin, 23 Karakter Pemuda Pilihan: Teladan dari
Tokoh-Tokoh Dunia (Jakarta: Rakyat Merdeka Groups PT. Wahan Semesta
Intermedia, 2009), xiii-xv.
[6]Tamsil Linrung, Politik untuk Kemanusiaan: Mainstream Baru Gerakan
Politik Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 2014), xiv.
[7]Muh. Hermawan, Model Masa Depan Gerakan Muda Islam (Jakarta:
KAMMI Pusat, 2004), 3.
Buat lebih berguna, kongsi: