Pola interaksi hubungan
internasional di kawasan Timur Tengah telah lama didominasi oleh ketidakpastian
dan konflik berkepanjangan. Intervensi dari lingkungan eksternal, perang antar
negara, stabilitas politik yang tak menentu, serta kekerasan antar etnik yang
kesemuanya ini bersumber dari pengaruh dinamika harga minyak dunia, persaingan
antar angkatan militer di dalam maupun antar negara, dan pergerakan ideologi
yang mengatasnamakan agama.
Dalam bagian tulisannya yang
berjudul After the Cold War: the maturing of the Greater West
Asian Crisis
ini, Fred Halliday menempatkan kawasan Timur Tengah dan konflik yang terjadi di
dalamnya dalam dua kerangka analisa. Pada satu sisi ia menelisik tentang
pengenalan karakter sejarah dan problem yang telah terjadi, dan di sisi
lain ia mengangkat analisis dari perspektif latar politik yang terjadi di Timur
Tengah serta lingkungan internasional yang turut memengaruhinya.
Berbicara tentang kawasan Timur
Tengah maka tak dapat kita lepaskan dari runtutan peristiwa dimulai pada akhir
masa Perang Dingin sampai dengan tahun 2000an. Empat peristiwa yang paling memengaruhi
atmosfer sosial politik kawasan Timur Tengah hingga berdampak pada lingkungan
global. Invasi Iraq pada Kuwait (1990), pengesahan Israeli-Palestinian
Declaration of Principles (1993), serangan al-Qa’ida pada peristiwa 9/11 di
AS, hingga pendudukan Anglo-AS di Iraq pada bulan Maret-April 2003.
Profesor Hubungan Internasional dari
London School of Economics ini dalam karyanya memaparkan bahwa
berakhirnya Perang Dingin mengindikasikan sebuah pola baru dalam hubungan
internasional dan mengakibatkan dampak yang sangat signifikan bagi kawasan
Timur Tengah. Uni Soviet yang semakin melemah dan munculnya AS sebagai
satu-satunya kekuatan di dunia, berakibat pada terbukanya peluang yang sangat
besar terkhusus untuk AS dalam merealisasikan kepentingannya di Timur Tengah
terutama perihal minyak. Selain itu, usainya Perang Dingin ternyata memunculkan
permasalahan yang lebih kompleks lagi bagi kawasan Timur Tengah. Banyak hal
yang terjadi di luar kawasan, pada akhirnya menjadi tekanan bagi internal
negara di Timur Tengah itu sendiri. Perseteruan global akibat pola
interdependensi yang kuat menyebabkan banyak konflik kawasan terjadi
serta-merta akibat pengaruh aliansi kekuatan para negara great power.
Analisis yang dipaparkan oleh Halliday
mengenai kondisi Timur Tengah pasca Perang Dingin (Cold War) sebenarnya
tertuju pada dua bagian analisa isu. Pertama adalah sejauh mana kemungkinan
untuk tetap membicarakan gejolak politik
yang sama terjadi di tiap negara kawasan Timur Tengah. Tiap negara dan tiap
krisis yang terjadi mempunyai karakternya masing-masing. Apa yang terjadi di Timur
Tengah kini faktanya merupakan akumalasi dari interaksi yang tidak harmonis
antar negara di dalamnya akibat munculnya level aliansi dan rivalitas yang
sudah terbentuk lama (popular sentiment). Perang Teluk (1990-1991) tidaklah secara
langsung akibat peristiwa 11 September 2001. Begitupun dengan konflik di
Palestina bukanlah menjadi sumber tunggal ketidakstabilan di Timur Tengah. Maka
dari itu dalam level negara ataupun masyarakat, peristiwa politik, stratejik,
dan ketidakharmonisan relasi antar negara, telah menjadi bentukan atau akibat
dari berbagai latar penyebab yang terjadi sebelumnya.
Selanjutnya bagian analisis isu kedua yang
diterangkan pada bab ini adalah tentang bagaimana tingkat pengaruh eksternal (external
factor). Tidak dapat kita pungkiri dalam realita sejarah Timur Tengah sejak
tahun 1760an, peristiwa pendudukan Napoleon ke Mesir (1798), hingga Perang Iraq
(2003), menisyaratkan sebuah hipotesa kuat bahwasanya faktor eksternal menjadi
determinan dalam kawasan ini. Namun yang perlu dikaji lagi ialah bagaimana dan
seberapa jauh faktor ini memengaruhi struktur politik dan masyarakat kawasan. Pengaruh
perdagangan dan keuangan global, intervensi militer, investasi, gaya hidup
barat, internet, dan ditambah lagi dengan kondisi pemerintahan domestik yang
tidak mencerminkan good governance, menjadi beberapa penyebab kuat
situasi di kawasan Timur Tengah sekarang. Selain itu peran negara,
kelompok-kelompok etnik, serta kepentingan politik dan bisnis para tokoh
sentral kawasan seperti Muhammad Ali, Sultan Abdul Hamid, Naser-ad Din Shah,
Theodor Herzl, Yasser Arafat, Ariel Sharon, Husni Mubarak, dan juga Osamabin
Laden, menjadi sub-faktor yang memengaruhi struktur kawasan.
Pada akhirnya penulis memandang
bahwa Fred Halliday sudah mampu membuka ruang analisa yang cukup menarik dalam
menilai kondisi terkini kawasan Timur Tengah. Analisa yang dibingkai penuh
lewat kacamata sejarah dirasa mampu membuka kepercayaan pembaca bahwa fase
dinamika internasional masa lalu menjadi artian penting dalam memprediksi apa
yang terjadi sekarang dan akan datang. Namun dalam beberapa hal, Fred Halliday
terkesan sangat sporadis dalam merunut alur sejarah yang ada. Pada awal,
tengah, dan akhir tulisan, akan kita dapatkan beberapa pengulangan fakta
sejarah secara tidak sistemik. Akibatnya, secara konseptual sudah sangat kuat
namun alur analisa yang dipaparkan cukup membuat pembaca kesulitan untuk
memahaminya.
Buat lebih berguna, kongsi: