Bulan suci yang dinantikan kini telah tiba. Ramadhan
kembali hadir dengan rahmatNya. Dua penggal bait dari sebuah lagu nasyid
Islami yang termaktub ini mengingatkan kembali hati sanubari dan diri yang
penuh kealfaan akan indahnya momentum bulan penuh keberkahan. Bulan dimana
dibuka seluas-luasnya cinta dari sang Ilahi. Cinta dengan seribu bahasa
kemuliaan, kedermawanan, kemuliaan akhlak, kesejukan hati, dan kelembutan jiwa.
Laksana tamu yang mempersembahkan berbagai bingkisan dan pemberian kepada kita.
Dia adalah tamu, tapi ia menjamu.
Menelisik fenomena yang
tidak nyaman untuk didengar ini, dalam disiplin ilmu hubungan inernasional, konflik
kekerasan termasuk dalam bagian analisis teori pendekatan pemikiran realisme
yang muncul pada era perang dunia I. Sifat manusia merupakan dasar hubungan
internasional tidak lebih dari hubungan manusia lain yang mana manusia
mementingkan diri, mengejar kekuasaan, dan itu dapat dengan mudah mengakibatkan
agresi (Morgenthau, 1960). Di akhir 1930an tidak lah sulit untuk menemukan
bukti yang mendukung pandangan tersebut. Hitler Jerman dan Mussolini Italia
secara terang-terangan mengejar kebijakan luar negeri yang agresif yang dicapai
melalui konflik, bukan kerjasama. Secara umum, teori realisme internasional ini
menekankan bahwa salah satu perdebatan di kalangan bangsa hanya dapat
diselesaikan dengan konflik yang pada ujungnya berakhir kepada kekerasan dan
negara adalah satu-satunya aktor yang terlibat akan hal itu.
Merealisasikan teori di
atas, telah banyak kita temukan sekarang berbagai perilaku atau fenomena internasional
yang sedikit banyak dan secara tidak langsung telah membuat dunia ini seakan
tak bermoral lagi. Konflik Israel-Palestina yang tak ada habisnya, kekerasan
rezim di Suriah bak episode yang tak berujung, perang dingin Korea Utara
dengan Korea Selatan terkait isu senjata nuklir yang semakin memanas adalah
contoh empirisnya, serta kudeta Militer di Mesir yang semakin menciderai hak-hak konstitusi dalam negeri. Berbagai fenomena lain seperti banyaknya penguasa modal
asing yang merongrong aset dalam negeri suatu bangsa dan semakin tumbuhnya
“lumut-lumut” kapitalisme internasional akibat “uang” yang telah
bertransformasi menjadi “Tuhan”.
Ramadhan yang sebentar
lagi akan kita hadirkan ditengah-tengah lingkungan kita pada hakikatnya adalah
bulan yang sarat akan kedamaian dan indahnya keimanan. Aplikasi nilai-nilai
puasa dengan pemahaman secara baik dan benar akan mengantarkan kepada munculnya
sebuah atmosfer kehidupan yang penuh dengan rasa keimanan dan ketaqwaan. “Ramadhan didatangkan sebagai ladang bagi
para hamba untuk menyucikan hati dari keburukan” “Maka tunaikanlah hak-hak Ramadhan baik berupa perkataan maupun
perbuatan” (Al-Hadits). Pernyataan Nabi SAW tersebut mengisyaratkan kita
sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam mengilhami bulan Ramadhan
ini dapat menjadikannya sebagai momentum penjagaan dari perbuatan-perbuatan
keburukan dan tentunya adalah momentum baik bagi dunia untuk menciptakan
tatanan perdamaian lewat nilai-nilai keislaman yag hakiki.
Sebagai manusia yang berdiri
di atas bumi sudah sewajibnya kita tahu, prihatin, dan ikut andil merubah
segala bentuk permasalahan fenomena internasional yang berujung kepada konflik
kekerasan. Fitrah manusia adalah berlaku baik bukan berlaku jahat. Konflik yang
tak berawal dan berujung ini seharusnya menjadi perhatian penting kita, menjadi
perhatian penting bangsa kita, dan menjadi perhatian penting dunia
internasional untuk merubah paradigma berpikir serta melepaskan
“pakaian-pakaian kepentingan” sehingga akibat buruk dari fenomena ini takkan
terulang lagi. Mari jadikan datangnya bulan nan suci Ramadhan ini sebagai
katalisator datangnya kedamaian internasional yang kita rindu-rindukan.
Rakhmat Abril Kholis
HI UIN Jakarta, Peniliti CIDES Indonesia, Co-Founder Indonesia Madani
Buat lebih berguna, kongsi: