Percaturan dunia global
akibat adanya prinsip saling ketergantungan (dependency
theory) antara negara dunia pertama (baca: maju) dengan negara dunia ketiga
(baca: berkembang) berakibat kepada meluasnya kegiatan-kegiatan internasional
dalam berbagai aspek yang tercakup dalam hal politik, ekonomi, dan keamanan.
Ketergantugan ini seiring dengan terbukanya berbagai pintu-pintu batas antar
negara dan makin tingginya tingkat kemajuan sumber daya manusia dan teknologi
di dunia sekarang.
Adanya kegiatan
internasional serta kerjasama antar bangsa berdampak pada terciptanya sistem
untung rugi dan tumpang tindih serta menindas ditindas yang sekarang menjadi
sangat kontemporer sifatnya. Isu-isu seperti ini lazim kita lihat dan saksikan
di berbagai media massa. Konflik keamanan, propaganda media, dan kapitalisme
ekonomi menjadi contoh dari sekian contoh fenomena internasional yang pada
akhirnya tertuju pada satu kata yang sebenarnya kebanyakan orang tak menginginkannya,
ya KEKERASAN.
Dalam disiplin ilmu
hubungan inernasional, fenomena seperti ini termasuk dalam bagian teori
pendekatan pemikiran realisme yang muncul pada era perang dunia I. Sifat
manusia merupakan dasar huungan internasional tidak lebih dari hubungan manusia
lain yang mana manusia mementingkan diri, mengejar kekuasaan, dan itu dapat
dengan mudah mengakibatkan agresi (Morgenthau, 1960). Di akhir 1930an tidak lah
sulit untuk menemukan bukti yang mendukung pandangan tersebut. Hitler Jerman
dan Mussolini Italia secara terang-terangan mengejar kebijakan luar negeri yang
agresif yang dicapai melalui konflik, bukan kerjasama. Secara umum, teori
realisme internasional ini menekankan bahwa salah satu perdebatan di kalangan
bangsa hanya dapat diselesaikan dengan konflik yang pada ujungnya berakhir
kepada kekerasan dan negara adalah satu-satunya aktor yang terlibat akan hal
itu.
Merealisasikan teori di
atas, telah banyak kita temukan sekarang berbagai perilaku atau fenomena
internasional yang sedikit banyak dan secara tidak langsung telah membuat dunia
ini seakan tak bermortal lagi. Konflik Isfrael-Palestina yang tak habisnya,
kekerasan rezim di Suriah bak episode yang tak berujung serta perang dingin
Korea Utara dengan Korea Selatan terkait isu senjata nuklir yang semakin
memanas adalah contoh empirisnya. Beerbagai fenomena lain seperti banyaknya
penguasa modal asing yang merongrong aset dalam negeri suatu bangsa dan semakin
tumbuhnya “lumut-lumut” kapitalisme internasional akibat “uang” yang telah
bertransformasi menjadi “Tuhan”.
Sebagai manusia yang
berdiri di atas bumi sudah sewajibnya kita tahu, prihatin, dan ikut andil
merubah segala bentuk permasalahan fenomena internasional yang berujung kepada
kekerasan ini. Fitrah manusia adalah berlaku baik bukan berlaku jahat.
Kekerasan yang tak berawal dan berujung ini seharusnya menjadi perhatian
penting kita, menjadi perhatian penting bangsa kita, dan menjadi perhatian
penting dunia internasional untuk merubah paradigma berpikir serta melepaskan
“pakaian-pakaian kepentingan” sehingga akibat buruk dari fenomena ini takkan
terulang lagi.
Rakhmat Abril Kholis
Ilmu Hubungan Internasional UIN Jakarta
Buat lebih berguna, kongsi: