American Power: Crisis or Renewal (John Dumbrell) | George W. Bush, Barack Obama and the Future of US Global Partnership (James N. Lindsay)



By: Rakhmat Abril Kholis 

        Dapat dikatakan bahwasanya hampir secara universal Amerika Serikat kini diakui sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia dengan keseimbangan kekuataan yang meliputi dimensi militer, ekonomi, politik, ideologi, maupun social power. Bila dikaji lebih mendalam,  kelengkapan dimensi vital yang dimiliki oleh Amerika Serikat ini membuka peluang untuk mudahnya mengidentifikasikan kemungkinan rivalitas dari negara lain. Meskipun pada kenyataannya sampai dengan sekarang, negara yang berantitesa dengan Amerika Serikat masih sulit untuk mencapai kesetaraan pengaruh Amerika di kancah global.

      Gejolak yang terjadi di Amerika Serikat baik dalam tataran ekonomi, militer, maupun public opinion terkait beberapa kebijakan yang diterapkan, telah berdampak pada timbulnya banyak persepsi tentang peluang runtuhnya kekuatan Amerika Serikat dalam percaturan politik dunia. Mantan Penasihat Keamanan Nasional AS Zbigniew Brzezinski pun menyatakan bahwasanya kini AS telah kehilangan meta-powernya. Kehilangan kekuatan dalam mengkonstruksi cara pandang orang terhadap dunia sehingga mampu memobilisasi, menginspirasi, dan menetapkan realitas global yang terjadi.    

      Leslie Gelb mencatat munculnya kembali defisit anggaran negara yang besar di bawah pemerintahan Presiden George W. Bush menyimpulkan bahwa: tidak ada bangsa dengan hutang yang besar mampu mempertahakan kekuataan yang besar(Gelb, 2009, hal. 58). Pada periode kedua kepresidenan Bush, sebuah jurnal terkemuka di AS menerbitkan artikel dengan judul seperti “The Illusion Unipolar Revisited (Layne, 2006) dan “The Age of Nonpolarity (Haass, 2008).

     Artikel ini pada dasarnya menyajikan pembahasan yang lebih mendalam serta mempertimbangkan perdebatan yang saat ini muncul terkait penurunan eksistensi Amerika Serikat. Menempatkannya pada konteks penurunan pengaruh Amerika dan warisan pada masa pemerintahan presiden George W. Bush. Hal ini akan memberikan gambaran dan ruang analisa yang baru bagi publik Amerika Serikat terkait krisis yang dirasakan oleh Amerika dan lembaga-lembaga politik di dalamnya dalam kurun waktu dua tahun pertama kepresidenan Barack Obama. Melihat pilihan-pilihan strategis apa yang mampu ditawarkan oleh Barack Obama demi mengembalikan eksistensi, dominansi, dan penerimaan Amerika Serikat di kancah global.

       Pasca peristiwa 11 September, secara eksplisit menjadi tanda munculnya pola baru dalam visi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Doktrin George W. Bush yang lumrah dikenal dengan istilah War on Terrorism menjadi instrumen kuat politik luar negeri Amerika Serikat pada masa itu hingga sekarang. Karena merasa eksistensinya terancam, Amerika Serikat pun menjalin mitra lain demi mensukseskan kembalinya kapasitas pengaruh yang besar terhadap dunia dan menjadi bukti pengawalan sikap ofensif Amerika atas isu-isu di dunia.
      Dapat disaksikan bagaimana sentuhan-sentuhan AS di Afghanistan untuk membunuh atau menangkap pejuang Al-Qaeda dan para pendukungnya di sana. Di Irak pun demikian. Atas dasar perjuangan untuk memecahkan garis penyebaran teroris, tiran, dan adanya teknologi pemusnah massal di sana, Amerika Serikat melakukan invasinya. Inilah yang mengakibatkan banyak timbul stigma negatif terhadap AS karena sudah melewati batas kedaulatan sebuah negara. Kritik pun semakin tersebar luas baik dalam lingkup internasional maupun dari ranah domestik Amerika itu sendiri.

         Barack Obama menangkap kekecewaan publik Amerika atas peristiwa Irak dan kebijakan luar negeri AS yang lainnya dengan menolak prinsip-prinsip inti dari pandangan Bush. Dalam analisisnya, Bush telah gagal untuk melihat bagaimana globalisasi berpengaruh besar dalam pergeseran dan gaya politik dunia. Globalisasi telah menuntut sebuah negara untuk lebih mampu bekerjasama dan membatasi area-area gerak terlebih dalam hal penggunaan kekuataan militer dalam kebijakan luar negeri. Dibutuhkan mitra untuk mencapai tujuan dan melindungi kepentingan-kepentingan. Dan para mitra tersebut hanya bisa dirangkul dengan penggunaan daya diplomatik, bukan intervensi. Namun, atas semua penolakan terhadap prinsip Bush tersebut, satu hal yang menjadi kesamaan visi antara Bush dan Obama ialah bersama menginginkan AS sebagai pemimpin bagi negara-negara lain di dunia.
Di awal pemerintahannya, Obama berjanji untuk mulai memperbaharui pola kepemimpinan Amerika dan ia menyebutkan sangat mengritik gaya kebijakan luar negeri pada masa Bush.  Selama pemerintahannnya, Obama cenderung bersifat membuka diri, terlihat dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan dan kemauan untuk mendengarkan aspirasi dari negara lain. Kerjasama akan membawa kepada keberhasilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri. Ia berharap kepada seluruh mitranya untuk dapat bersama mencari solusi yang tepat atas semua permasalahan yang ada dan siapa yang harus menanggung beban mengimplementasikannya. Amerika Serikat dapat bertransformasi sebagai sumber solusi dan mediator yang baik terhadap seluruh kepentingan-kepentingan yang melatarbelakangi berbagai macam konflik di dunia.

Bagaimana untuk sukses dalam tataran dunia sementara negara-negara lain semakin mengabaikan dan bertolak belakang dengan kepemimpinan Amerika. Dapat lebih terbuka dan mampu merangkul menjadi tantangan utama bagi Amerika Serikat di tahun-tahun mendatang. Obama menyatakan bahwa dari dahulu hingga sekarang kebijakan luar negeri yang ingin dicapai oleh Amerika tidak terlepas dari kerjasama dengan entitas lain. Mengubah strategi, merevisi
prioritas, dan pembenahan misi yang secara politis dikategorikan menyakitkan serta dapat berpotensi bahaya.
Buat lebih berguna, kongsi:
close
CLOSE [X]