Generasi Antara: Refleksi tentang Studi Pemuda Indonesia


 
Generasi Antara: Refleksi tentang Studi Pemuda Indonesia
Critical Review dari Suzanne Naafs dan Ben White

Erasmus Rotterdam University
                                                    oleh Rakhmat Abril Kholis, S.Sos[1]

Suzanne Naafs merupakan seorang antropolog budaya (cultural anthropologist) yang menambatkan dirinya untuk fokus mengkaji dinamika perubahan sosial di wilayah Indonesia. Produk penelitiannya banyak menyentuh aspek antropologi masyarakat urban Indonesia, kepemudaan, dan juga studi pembangunan (development studies).[2] Selaras dengan Suzanne, Ben White (1946) merupakan professor di bidang sosiologi pedesaan yang concern meneliti proses pergeseran para agrarian, antropologi dan perubahan anak, pemuda, serta kesetaraan gender, khususnya di Indonesia. Selain artikel ini, ia sebelumnya juga pernah menerbitkan karya yang membahas tentang organisasi petani di Indonesia (1945-1966).[3]       
Dalam karyanya yang berjudul “Generasi Antara: Refleksi tentang Studi Pemuda Indonesia,” kedua peneliti ini menyajikan tiga topik pembahasan utama yakni, pertama pemuda sebagai generasi. Kedua, pemuda sebagai transisi, dan ketiga pemuda sebagai pencipta serta konsumen budaya. Tiga ide kunci tentang pemuda ini dihimpun sebagai refleksi dari kajian mereka tentang pemuda di Indonesia.
Peneliti dari International Institute of Social Studies ini pada pendahuluannya memberikan penegasan bahwa kajian kepemudaan lahir dari ‘otonomi’ tertentu sehingga mempunyai banyak perspektif dalam menilai pemuda, baik sebagai transisi, identitas, pencipta budaya, atau lain sebagainya. Mereka menambahkan bahwa pentingnya pendekatan ‘relasional’ sebagai acuan baru dalam menilai wajah pemuda di Indonesia. Bagaimana relasi mereka dengan struktur sosial yang secara usia ataupun kelas berada di atas mereka.
Suzanne dan Ben memandang bahwa definisi pemuda sebagai usia transisi merupakan produk konvensional yang terus dikonstruksi baik dalam item-item kebijakan pemerintah dan juga dunia internasional. Mereka menilai, ‘transisionalitas’ tidak dapat dijadikan ukuran dominan dimensi identitas pemuda saat ini disebabkan adanya perbedaan cara pandang dan terjadinya pergeseran kehidupan di kalangan para pemuda.
Ada hal menarik yang dipaparkan oleh Suzanne dan Ben terkait bagaimana penilaian mayoritas para peneliti di Indonesia kepada pemuda. Mereka menganggap bahwa para peneliti di Indonesia masih sangat bertumpu pada isu seputar budaya dan gaya hidup (life style) pemuda dengan cara pandang sebab-akibat yang begitu sederhana. Mereka menyebutnya dengan istilah ‘defektologi kepemudaan’ yang tidak mampu dijawab dengan eksplorasi kritis tata kelola pemuda sebagai sebuah dimensi ‘sikap pemerintahan (governementality) Indonesia saat ini.
Tiga bagian utama yang dikembangkan oleh Suzanne dan Ben dalam artikel ini secara ringkas dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Pemuda sebagai Generasi. Suzanne dan Ben menjelaskan poin Pemuda sebagai Generasi ini secara sistematis dan cukup apik, disertai dengan studi kasus di Indonesia. Beberapa hal yang disinggung mereka dalam penelitiannya antara lain:
1.             Pemuda Indonesia sebagai aktor kunci dalam proses urbanisasi dan de-agrarianisasi;
2.             Terjadi perbedaan definisi usia pemuda, baik menurut PBB, UU, Kemenpora, dan lain-lain yang menyebabkan kebingungan dalam mengetahui indikator negara tentang pemuda bangsa;
3.             Kaum muda punya konsepsi sendiri tentang masa mudanya. Di Indonesia telah terjadi fenomena ‘perpanjangan’ usia. Usia pemuda secara tidak langsung juga dibedakan berdasarkan spesifikasi kelas, misalnya ada anak muda yang sudah menikah atau bekerja di bawah umur. Di tengah masyarakat mereka sudah bisa dipandang sebagai orang ‘dewasa’, dll;
4.             Tiga makna generasi: kelompok umur, dimensi relasional, dan generasi dalam arti kesadaran diri sebagai pemuda dalam sejarah bangsa (pengawal perubahan). Namun, hal ini bisa berbalik arah di mana pemuda justru melegitimasi rezim baru dan menghilangkan aktivisme kritisnya. Dicontohkan dengan yang terjadi pada organisasi KNPI (1973) atau Pemuda Pancasila (1980-an) yang cenderung menyetir pemuda sebagai entitas politik;
5.             Terjadinya kesenjangan antar generasi;    
6.             Periode jalan hidup utama di mana dibentuknya identitas (termasuk identitas politik);
7.             Demi kepentingan keamanan nasional dan internasional dari radikalisme dan teorisme Islam, pemuda Islam di Indonesia sering dikategorikan sebagai ancaman terhadap keamanan dan stabilitas dikarenakan bonus demografi, tingginya angka pengangguran, dan marginalitas yang akan menyeret mereka ke arah Islam radikal;
8.             Munculnya identitas kultural non-politik baru yakni pemuda yang psimistis terhadap politik dan berperilaku konsumtif. Pemuda di bawah arus neoliberal dipandang  sebagai ‘modal manusia’.

Kedua, pemuda sebagai transisi. Suzanne dan Ben menyatakan bahwa salah satu strategi penting pemuda dalam menegosiasikan transisi adalah mobilitas. Seperti halnya budaya merantau menuntut ilmu atau mencari kerja yang menjadi bagian dari tradisi orang Minang dan Jawa. Mobilitas ini sekarang menjangkau semua kelas dan gender. Mobilitas dalam bentuk migrasi ini cenderung tidak permanen dan terus linear terhadap arus globalisasi. Seperti halnya generasi muda di pedesaan Indonesia saat ini yang nampaknya tidak berminat lagi pada masa depan pertanian dan lebih prioritas untuk ikut bergabung pada arus perkotaan.
Ketiga, pemuda sebagai pencipta dan konsumen budaya. Kedua peneliti ini beranggapan bahwa kini makin banyak pemuda di Indonesia yang tumbuh dalam sebuah sistem referensi global budaya dan gaya hidup berbasis konsumen. Anomali dengan fakta bahwa terjadi kesenjangan yang begitu ekstrem antara masyarakat yang kaya dan miskin. Hal penting yang diamati oleh peneliti ini adalah munculnya dua tema strategis yang mewarnai kajian kepemudaan saat ini yakni munculnya pola konsumsi dan pergaulan baru (tampil dengan merek khas global tapi palsu, pergaulan bebas, dll) serta peran gerakan Islam dalam kaitannya dengan identitas dan praktik kaum muda. Berbeda dengan tahun 1990-an, Islam di Indonesia saat ini dinilai mampu bersintesis dengan karakteristik gaya hidup modernitas dalam budaya hibrida Muslim muda.
Artikel ilmiah yang cukup panjang ini menerangkan kepada khalayak pembaca tentang tiga spektrum utama dalam menilai dan mendefinisikan pemuda Indonesia saat ini. Penulis kira, ada beberapa hal yang patut dicermati dari karya Suzanne dan Ben White ini. Pertama, secara penulisan dan terjemahan ke ‘bahasa’, ada beberapa item dalam tulisan ini terasa sangat tekstual sehingga pembaca sulit untuk mengetahui maksud dari penelitiannya.
Kedua, Suzanne dan Ben terkesan menyajikan argumentasi secara melompat-lompat. Terdapat banyak paragraf yang tidak berkesinambungan dengan paragraf lainnya, semisal ketika pembahasan pemuda sebagai pencipta dan konsumen budaya, banyak materi yang tumpang-tindih. Belum selesai memaparkan aspek ‘A’ dia malah lanjut membahas aspek ‘B’.
Selain itu, karya ini belum mampu menjawab tiga poin utama yang diklasifikasikan di awal penelitian. Kesimpulan apa yang dihasilkan dari penilaian pemuda sebagai generasi, atau pemuda sebagai transisi, serta pemuda sebagai pencipta dan konsumen budaya. Mereka hanya mampu mengurai satu per satu studi kasus yang terjadi di Indonesia sesuai dengan kepakaran mereka masing-masing tanpa ada benang merah yang bisa diambil.
Penulis merasa karya ini menarik untuk dikaji di khalayak umum, namun perlu adanya revisi ataupun perbaikan cara penyajian di beberapa titik. Seperti penilaian terhadap status KNPI dan Pemuda Pancasila sebagai organisasi yang cenderung mempolitisasi pemuda, posisi pemuda Islam yang cenderung dikooptasi sebagai kelas yang berbahaya, dan juga riset tentang Islam mampu bersintesis dengan westernisasi sebaiknya dapat dielaborasi lebih dalam dengan studi kasus yang lebih kompleks.
Selanjutnya, penulis menganalisa harus ada lompatan riset dalam jangkauan satu generasi lagi untuk mengkaji realitas pemuda di Indonesia yang belum tersentuh oleh Suzanne dan Ben White. Di lihat dari tahun terbitnya, artikel ini belum sempat menangkap ‘fakta’ zaman di mana terjadi pola perubahan yang ekstrem di kalangan pemuda Indonesia saat ini di tengah arus sosial-media dan social volunterism yang sangat tinggi. Penulis menilai bahwa pemuda di Indonesia kini telah setahap melangkah dari pencipta budaya (culture maker) yang cenderung dikesan negatif ke status sebagai social engineer atau perekayasa sosial. Hal ini dibuktikan dengan dominansi gerakan sosial-media, baik dalam bentuk aktivitas posting, buzzer, cyber army, ataupun aktivitas crowd funding seperti kitabisa.com, serta bisnis online semisal GoJek, traveloka.com, Tokopedia, blibli.com, dan gerakan sosial Indonesia Mengajar, Turun Tangan, serta partai politik seperti halnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengclaim pemuda sebagai basis massa utamanya. Fakta ini dengan nyata membuktikan bahwa kelas pemuda mampu naik kelas secara ‘ekspansional’, sebagai generasi yang signifikan bertransisi, dan mampu mengambil peran di tengah era modernitas.    


[1]Penulis merupakan mahasiswa pascasarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Sekolah Stratejik dan Studi Global, Universitas Indonesia. Junior Researcher di Center for Information and Development Studies (CIDES) Indonesia.
[3]Lihat di www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/... . Diakses pada September 2017.
Buat lebih berguna, kongsi:
close
CLOSE [X]