Pemilihan
Umum (Pemilu) Legislatif Rabu, 9 April 2014 yang lalu meninggalkan jejak yang
menarik untuk terus disimak. Hasil Quick
Count (hitung cepat) yang dikeluarkan banyak lembaga survei di Indonesia, menghadirkan
banyak pertanyaan di benak pengamat dan masyarakat Indonesia secara umumnya. Nasib
partai penguasa, popularitas tokoh yang memengaruhi suara partai, hingga pertanyaan
yang paling sering muncul yakni gerak-gerik partai politik berlandaskan Islam
atau berbasis massa Islam (baca: Parpol Islam).
“Sumur
Koalisi Islam: Digadang atau Malah Didagang”. Judul ini dikira pantas untuk
disematkan dalam atmosfer perpolitikan Indonesia pasca Pemilu Legislatif hingga
sekarang. Hasil hitung cepat ternyata secara tak terduga membantah banyak tesis
dari banyak ilmuan sosial mengenai runtuhnya kredibilitas Parpol Islam. Parpol
Islam yang dinilai oleh para pengamat akan tenggelam di Pemilu 2014 dikarenakan
dentuman kasus dan serangan yang menusuk langsung ke sendi pertahanannya, menjawab
tuntas prediksi-prediksi tersebut. Persentase suara PKB 9,3 %, PAN 7,4, %, PPP 6,67 %, dan PKS 6,8 % menjadi bukti bahwa Parpol Islam masih berada di hati
rakyat Indonesia. Kini semua mata tertuju kepada empat partai politik ini.
Sikapnya ditunggu, gerak politiknya kian nikmat tuk dilihat, pun dengan arah
koalisi antar sesamanya menjadi isu yang ramai terus diperbincangkan.
Meningkatnya
persentase partai politik Islam secara keseluruhan dinilai banyak pengamat dan
politisi partai adalah akibat berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
partai penguasa terlebih ditambah dengan prestasi pemerintahan SBY yang
terbilang jauh dari harapan. Dalam teori politik, seseorang akan bertindakdan
menentukan pilihan secara rasional (rational
choice ) ketika dihadapkan oleh pilihan-pilihan yang saling berbenturan.
Dalam hal ini, basis konstituen Partai Demokrat yang sangat tinggi pada 2009
lalu, dinilai tereduksi akibat menurunnya citra pemerintahan periode ini. Kasus
korupsi yang tak ada habisnya, naiknya harga BBM, lemahnya diplomasi, dan sebagainya
menjadi salah satu alasan menurunnya kepercayaan masyarakat Indonesia. Namun di
lain pihak tak dapat dinafikan bahwasanya tiap parpol Islam ini memiliki basis
massa tetap yang sangat sulit tuk digoyahkan. Kita lihat saja PKB dengan
kalangan Nah’dhiyyin, PAN dengan Muhammadiyah, PPP dengan basis NU dan Masyumi, hingga PKS dengan kekuatan kader Tarbiyahnya. Mereka saling memperkuat jaringan massa yang dari
mulanya memang dipegang.
Menelisik
pemberitaan yang kini marak diperbicangkan mengenai peluang koalisi Parpol
Islam, maka tak dapat kita pisahkan dari kuatnya lirikan partai nasionalis
(sebut saja demikian, walau kurang pantas untuk didikotomikan) terhadap
beberapa Parpol Islam. Tak ada satupun partai yang berhasil menembus Presidential Treshold menyebabkan
seluruh partai berupaya membuka peluang kerjasama (koalisi) demi memenangkan
Pemilu Presiden bulan Juli nanti. Berbagai carapun telah dilakukan. Safari
politik, pendekatan basis konstituen, hingga kedekatan ideologi dan histori
menjadi alasan bangunan kekuatan. Maka tak heran banyak kalangan yang juga menginginkan
jika empat kekuatan Parpol Islam ini membuat gerakan koalisi tersendiri yang
dulu sempat dilakukan. Desakan dari ulama, cendikia, hingga para politisi tua
menjadi indikator kuat keinginan untuk bererat.
Poros
Tengah adalah sebutan yang dulu pernah digaungkan ketika berbagai Parpol
Islam bersatu mengusung KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk naik menjadi
Presiden Republik Indonesia. Dan kala itu Poros
Tengah berhasil. Hingga pada akhirnya gaung itu seakan sekarang hendak
diulang. Pertanyaannya siapakah calon yang kan diusung? Apakah dari keempat
Parpol Islam ini dalam satu kesepemahaman? Digadang-gadang berkoalisi atau malah
berakhir didagangnya Parpol Islam, jangan sampai.
Hal
inilah yang menjadi perhatian bersama kebanyakan masyarakat Indonesia yang
memang notabennye mayoritas Muslim. Ummat
dinilai membutuhkan pemimpin yang nantinya mampu mewakilkan aspirasinya,
berlaku amanah, jauh dari citra media semata, dan jauh dari asa meraup untung
dari negara. Maka akhir-akhir ini kita dengar bersama adanya inisiasi
menyatukan partai politik Islam ini di atas satu meja. Pertemuan yang diusung
oleh Koalisi Partai Islam melalui
Ustadz Bachtiar Nasir hingga turun tangannya seorang politisi senior Amien Rais
demi merangkul semua partai politik Islam. Istilah “Koalisi Indonesia Raya” pun sontak terdengar dan menjadi bahan
pembicaraan di media-media.
Sebenarnya
apa yang dipermasalahkan sekarang bukanlah siapa yang akan diusung menjadi
capres alternatif tersebut. Banyak nama yang ummat Islam punya. Namun masalah lebih datang dari masih kuatnya
kepentingan dan ketidakengganan di tubuh parpol Islam itu sendiri. Ini yang
menjadi masalah yang patut diselesaikan bersama. Apakah nantinya koalisi ini
dilanjutkan atau malah hanya tinggal nama dan parpol Islam terpaksa menjadi
dagangan parpol yang memiliki dominansi suara.
Indonesia
bagaikan firdausnya dunia. Terbentang luas keindahan, terpampang jelas bangunan
peradaban. Maka dari itu, tak salah bagi ummat
Islam sebagai mayoritas di negeri ini tuk lebih condong mengusungkan nama yang
memang dianggap nantinya mampu membawa kemaslahatan baik bagi ummat dan agama maupun bagi negara
secara umumnya. Pemimpin yang mampu mengembalikan marwah bangsa dan ummat.
Rakhmat Abril
Kholis (Mahasiswa HI 2012 UIN Jakarta, Co-Founder Indonesia Madani, Ketua Umum
KAMMI MedSos, Peneliti CIDES ICMI, Direktur Bengkulu Institute)
Buat lebih berguna, kongsi: