Negara yang menganut sistem demokrasi dituntut
untuk mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi sesuai kultural dan kekhasan
bangsa itu sendiri. Demokrasi menuntut sebuah negara yang menjadikan ia sebagai
suatu paradigma berpikir dalam tatanan berbangsa, menjadi kesatuan yang
terintegrasi lewat keberagaman multikultural di dalam negara itu. Salah satu
cara pengaplikasian sistem tersebut adalah dengan penerapan asas-asas
desentralisasi dalam pelimpahan dan pengambilalihan wewenang kekuasaan dari
pusat ke daerah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) / United Nations dalam menerjemahkan apa
sebenarnya makna dari desentralisasi sebagai poin dari sistem yang dinamakan
dengan Otonomi Daerah ini menyebutnya
yakni “Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari
pemerintahan pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara
dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya maupun
melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di daerah”. Pengertian
makna ini secara implisit telah mudah kita pahami dan secara konstektual di
Indonesia prinsip ini telah lama diterapkan.
Indonesia sebagai bangsa dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menyikapi dan mengaktualisasi sistem
otonomi daerah memiliki unsuryang sangat menarik untuk dikaji. Berawal setelah
jatuhnya rezim otoriter Soeharto yang pada saat itu sistem kekuasaan, wewenang,
dan tindakan semuanya diambil alih hanya pada satu tangan yang absolute sehingga meniadakan ruang untuk
daerah mengusahakan kesejahteraan bagi komponen di dalamnya hingga menimbulkan
gejolak yang sangat hebat. Implikasi besar dari hal itu maka lahirlah Indonesia
dengan reformasinya yang mengusahakan adanya keadilan yang terstruktur,
memanusiakan manusia, dan menjamin adanya keleluasaan untuk menjadi kesatuan
yang selalu berkembang.
Problematika Indonesia sampai sekarang nyatanya
adalah bahwa otonomi daerah dengan pelimpahan wewenang yang dilegalkan telah
membawa dan membuka nilai-nilai liberalisasi pasar dan ekonomi, peluang korupsi
yang sangat besar karena banyak dan ribetnya birokrasi pemeritahan daerah,
disintegrasi bangsa yang semakin tampak jelas karena kewenangan yang terlalu
bebas, kecemburuan antar daerah yang semakin kental, pemanfaatan contoh
penerapan kekhususan di daerah khusus/istimewa Indonesia yang disalahartikan,
serta berbagai kebobrokan yang diakibatkan sistem yang dianggap lebih baik dari
sentralisasi ini.
Memang agak rumit tetapi inilah kenyataannya
sekarang. Irtanto dalam bukunya “Dinamika
Politik Lokal Era Otonomi Daerah” menjelaskan bahwa pasca diterapkannya UU
No. 32 Tahun 2004, otonomi daerah telah menggairahkan daerah untuk tumbuh dan
berkembang. Bagi pemerintah daerah, “era otonomi” adalah suatu kesempatan untuk
menunjukkan kekuatan daerahnya yang sangat berbeda dengan masa sentralisasi.
Era otonomi telah melahirkan konflik elit politik lokal yang berusaha dengan
berbagai cara untuk mempertahankan dan menggapai tonggak kekuasaan di
daerahnya.
Merefleksikan diri atas masalah ini, hanya solusi
jitu yang kita perlukan. Mulai dari pemimpin yang tegas dan berkeadilan hingga
sistem serta regulasi konstitusi yang mengikat dan tepat untuk mengatasi semua
masalah ini. Resolusi yang harus dilakukan ialah mengembalikan struktur bangsa
ini kepada empat konsensus dasarnya. NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan
UUD’45 seharusnya dijadikan cerminan untuk perbaikan sistem yang telah dipilih.
Akhir kata, otonomi daerah dengan desentralisasinya harus diartikan dengan bijak
dan tepat sasaran sehingga peluang disintegrasi bangsa akan tiada.
Rakhmat Abril Kholis-IR
Buat lebih berguna, kongsi: