Era Media Sosial dan Pengerasan Identitas: Ditinjau dari Perspektif Identitas Kultural (Ting Toomey and Chung dan Klyukanof)


                                                             Sumber gambar: Grid.id

Rakhmat Abril Kholis, S.Sos[1]

Abstraksi

“Social media is something of a double-edged sword. At its best, social media offers unprecedented opportunities for marginalized people to speak and bring much needed attention to the issues they face. At its worst, social media also offers 'everyone' an unprecedented opportunity to share in collective outrage without reflection.”[2] Roxane Gay (1974)
Media Sosial (Social Media) merupakan produk dari proses modernitas. Ia kini menjadi tools sekaligus penyebab atas tiap fenomena yang berkembang dalam spektrum kehidupan sosial. Menjadi faktor yang cukup sentral dalam membentuk konfigurasi identitas masyarakat baik di dalam lingkup domestik maupun dunia internasional. Seperti halnya yang dikatakan Roxane (1974), sosial media bagai pisau bermata dua. Membuka ruang berbagi namun menghidupkan potensi disintegrasi.
Tulisan ini secara ringkas akan mengurai pandangan Ting Toomey and Chung serta Klyukanof tentang Identitas Kultural yang dikaitkan dengan fenomena empiris yang terjadi akhir-akhir ini di tengah masyarakat. Kecanggihan teknologi lewat meluasnya penggunaan media sosial telah membentuk transformasi perilaku masyarakat ke arah penguatan elemen identitas sosialnya.

Keywords: Media Sosial, Identitas, Identitas Kultural, Ting Toomey and Chung,   Klyukanof


Globalisasi telah membawa dunia pada sebuah kondisi yang biasa diistilahkan dengan sebutan borderless[3]. Sebuah situasi dimana tidak adanya lagi sekat ataupun pembatas antar negara dalam konotasi sebaran informasi, akses ilmu pengetahuan dan teknologi, perdagangan bebas, akulturasi budaya dan lain sebagainya. Arus globalisasi dengan meningkatnya akses masyarakat terhadap informasi kini semakin membawa pencerahan dan penguatan atas pondasi demokrasi di dunia.[4] Begitupun juga membawa pengaruh terhadap polarisasi di tengah-tengah masyarakat melalui semakin maraknya penggunaan teknologi dan informasi khususnya sosial media sebagai corong opini masyarakat hari ini.

Pada 2017, Tetra Pak Index merilis bahwa ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia dengan hampir setengahnya adalah penggila media sosial, atau berkisar di angka 40%.[5] Sementara itu, laman wearesosial.com mencatat pada 2018 Indonesia memiliki 130 juta pengguna media sosial aktif dan setidaknya 49% dari total populasi penduduk memiliki dan aktif menggunakan media sosial.[6] Angka ini mengindikasikan tingginya minat dan perhatian masyarakat Indonesia pada penggunaan sosial media sebagai alat komunikasi dan informasi.

Data dari republika.co.id menyebutkan bahwa arus penggunaan sosial media yang kian tak terkendali mendatangkan permasalahan sosial baru di tengah masyarakat. Media sosial kini menjadi tempat yang sangat strategis dalam menyebarnya isu yang berkaitan dengan sentimen identitas sosial seperti suku, agama, ras, dan kepercayaan.[7] Media sosial telah dijadikan sebagai wadah bertemu dan berkumpulnya entitas sosial dari berbagai penjuru dalam kluster-kluster tertentu yang mampu membawa dampak signifikan dalam perubahan pola interaksi masyarakat.

Demi menjelaskan fenomena ini, penulis menggunakan pendekatan identitas kultural dari Ting-Toomey dan Chung serta Klyukanov. Ting-Toomey dan Chung menjelaskan identitas sebagai bentuk refleksi dari konsep diri ataupun citra diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnik, dan proses sosialisasi individu. Mengenai identitas kultural, ia menggambarkan bahwa identitas kultural adalah sesuatu yang secara emosional memiliki signifikansi yang membuat kita memiliki kelekatan baik secara sense of belonging maupun afiliasi dengan sebuah budaya yang besar.[8] 

Selanjutnya, Klyukanov memandang identitas kultural sebagai keanggotaan dalam suatu kelompok dimana individu berbagi makna simbolik yang sama.[9] Dari dua pendekatan identitas kultural di atas, dapat ditemukan bahwa masyarakat cenderung melakukan proses kanalisasi dalam pergaulan dan interaksi sosial. Hal ini bukan hanya terjadi di dunia nyata, namun juga di dunia maya yakni internet khususnya sosial media.

Dari data yang dihimpun melalui berbagai sumber yang disebutkan sebelumnya, diketahui bahwa media sosial kian hari kian menjadi tempat berkumpulnya elemen identitas sosial di dalam satu wadah baik dalam segmentasi gender, ras, agama, kepercayaan, bangsa, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini juga diperkuat oleh tulisan yang dilansir dari dailysosial.id bahwa pengguna media sosial di Indonesia mulai tersegmentasi berdasarkan kebutuhan.[10] Sumber tersebut menyebutkan bahwa segmentasi yang terjadi di masyarakat didasari oleh kebutuhan dan latar belakang sosial dari kelas masyarakat yang berbeda-beda. Segmentasi ini semakin terpolar dengan banyaknya isu-isu yang menyentuh aspek identitas sosial seperti politik identitas yang mendominasi perbincangan di sosial media. Akibatnya, masyarakat dengan secara alamiah memilih tempat untuk berinteraksi di dunia maya sesuai perasaan (sense), simbolitas kelas yang sama, kelekatan akan budaya tertentu, dan sebagainya sebagaimana yang disebutkan oleh Ting-Toomey dan Chung serta Klyukanov.

Jadi, melihat fenomena era media sosial saat ini, pendekatan identitas kultural rasanya sangat tepat untuk melihat potensi kedekatan masyarakat pada kanal-kanal media sosial tertentu yang berakibat pada menguat bahkan pengerasan identitas sosial di masing-masing tipologi masyarakat. Media sosial telah menjadi faktor bagi derasnya polarisasi di tengah-tengah masyarakat berdasarkan identitasnya masing-masing.         
  


[1]Merupakan mahasiswa pascasarjana Program Studi Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia. Peneliti di Center for Information and Development Studies (CIDES) Indonesia.
[3]Istilah yang sering digunakan dalam aktivitas ekonomi politik yang mendeskribsikan situasi nihilnya urgensitas batas antar negara. Biasanya dalam hubungan pergerakan barang, manusia, dll. Lihat di https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/borderless. Diakses pada Maret 2018.
[4]Merupakan pidato kenegaraan Presiden Kosovo Atifete Jahjaga. Lihat di http://thehill.com/policy/international/232703-kosovar-president-atifete-jahjaga-the-four-key-ingredients-for-peace. Diakses pada Maret 2018.  
[5]Lihat di https://inet.detik.com/cyberlife/d-3659956/132-juta-pengguna-internet-indonesia-40-penggila-medsos. Diakses pada Maret 2018. 
[6]Lihat di http://industri.bisnis.com/read/20180131/105/732548/130-juta-penduduk-indonesia-pengguna-media-sosial.  Diakses pada Maret 2018. 
[7]Lihat di http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/10/27/ofplzo282-isu-sara-menyebar-karena-media-sosial-yang-tidak-terkendali. Diakses pada Maret 2018.  
[8]Puspitasari, Identitas Sosio-Kultural, [Pdf] (2018, Depok: Universitas Indonesia), hal. 3.   
[9]Ibid., hal. 6.  
[10]Lihat di https://dailysosial.id/post/penggunaan-media-sosial-di-indonesia-mulai-tersegmentasi-berdasarkan-kebutuhan. Diakses pada Maret 2018.  
Buat lebih berguna, kongsi:
close
CLOSE [X]