"Sama, Aku Juga Menangis"

By: Rakhmat Abril Kholis

Kuintip rangkaian angka di sudut kanan benda yang paling sering menemani hari. 01.04 WIB. Seperti biasa kata "manusia tak seperti umumnya" juga kualami hari ini. Hari yang menurutku biasa saja. Pagi menjelang, bertemu siang, senja menyapa, hilang ditelan malam. Begini terus adanya.

Tengah malam atau sebutlah pagi nan buta ini aku diingatkan dengan satu momen yang akhir-akhir ini menyita sedikit perhatianku. Wall facebook, timeline twitter, notes, bahkan mungkin blog sekalipun mampir ke hadapanku dengan satu tema yang sama. Tak perlu kuceritakan apa itu. Nanti kau bakalan tahu.

"Sama, Aku Juga Menangis". Judul yang kubumbui dengan beberapa diksi yang menurutku pantas dijudge 'lebay' bagi seorang pria sepertiku. Tapi dari dahulu hingga kini aku tetap dalam satu paham bahwa menangis bukanlah tradisi khusus wanita.
Sampai paragraf keempat kutulis cerita ini, tak kunjung kuingat tanggal dimana aku, dia, dan mereka bersama menangis. Jujur, aku lupa. Atau karena momen itu tak terlalu sesak di dada. Tertutup oleh momen lain yang mungkin jauh lebih mengharukan. Tapi yang pasti aku ingat. Kala itu "Sama, Aku Juga Menangis".

Ingin rasanya kuterangkan langsung kepadamu momen apa yang sedang kuingat dan bagikan kepadamu kini. Pikirku hikmahnya jauh lebih kau butuhkan dari apa yang terjadi kala itu. Sekitar 30 menit yang lalu. Aku iseng membuka sebuah blog milik teman baruku. Teman yang kuistilahkan di tulisan sebelumnya sebagai "teman yang kutemui di jalan". Blog yang tegas kukatakan 'menginspirasi'. Penulisnya pasti orang yang sangat peka, peduli, terjaga izzahnya. Allah, istiqomahkan ia.

Di atas rangkaian sebuah tulisan dari blog tersebut, aku membaca beberapa penggalan apik yang merdu aduhai sungguh syahdu. Penggalan tulisan itu bernarasikan syair tentang indahnya 'ukhuwah' dalam mengarungi kehidupan. Ukhuwah yang dirangkai atas rasa saling memahami.

Sebenarnya tulisan itu hanya menepik sekilas diri ini akan kisah yang dahulu pernah kurasakan. Kembali ke wall, timeline, dan sebagainya yang di awal kuceritakan. Inilah sebab kutuliskan cerita ini. Cerita yang harusnya terangkai sejak dahulu saat rasa itu mendobrak tiap denyut nadiku.

Ya, semua karena Ukhuwah. Aku sulit menamainya 'teman'. Karena kata 'sahabat' lebih mampu menitikkan air mata ini. Ku ingat sekali ketika ia meneleponku dan baru saat itu tangisku tak tertahan. Tersedu, rapuh, serasa aku dan mereka kan dipisahkan selamanya.

Cerita perpisahan bukan hanya mendesak hati tuk 'menangis'. Lebih dari itu, kuingat betapa pepatah lama mengatakan "Bersua pasti akan berpisah". Aku paham itu. Ku jamin, inilah pepatah yang paling 'dibenci' banyak insan. Namun pepatah ini jualah yang paling membijaksanakan.

Ya, perpisahan. "Tak kan sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri". Kata bijak Rasulku ini sering kuulangi, kusebar ke rekan sejawat, kunikmati tiap makna di dalamnya. Saudara bagaikan satu tubuh, kala satu teriris, maka teririslah bagian tubuh yang lain. Perpisahan memang memisahkan namun ingat pasti kan dipertemukan.

Kau ketahui bahwa tak sedikitpun tetesan air keluar dari kedua mata saat kutuliskan cerita ini. Aku yakin inilah tanda ketegaran dan keyakinan bahwa akan ada yang menggantikan. Atau malah nanti kan dipertemukan.

"Sahabat, tibalah saatnya
Bersua pasti akan berpisah
Bila nanti kita jauh berpisah
Jadikan robitah pengikatnya
Jadikan doa ekspresi rindu
Semoga kita bersua di Surga"
(Sigma)

#untukmu sahabat

Ciputat, 20 April 2014
01.49 WIB
Buat lebih berguna, kongsi:
close
CLOSE [X]