Ramadhan, Momentum Perdamaian Internasional

            Bulan suci yang dinantikan kini telah tiba. Ramadhan kembali hadir dengan rahmatNya. Dua penggal bait dari sebuah lagu nasyid Islami yang termaktub ini mengingatkan kembali hati sanubari dan diri yang penuh kealfaan akan indahnya momentum bulan penuh keberkahan. Bulan dimana dibuka seluas-luasnya cinta dari sang Ilahi. Cinta dengan seribu bahasa kemuliaan, kedermawanan, kemuliaan akhlak, kesejukan hati, dan kelembutan jiwa. Laksana tamu yang mempersembahkan berbagai bingkisan dan pemberian kepada kita. Dia adalah tamu, tapi ia menjamu.
             Kehadiran bulan Ramadhan yang lengkap dengan kearifan ini serasa kurang disadari oleh elemen-elemen masyarakat muslim dunia. Kehadiran Ramadhan sebagai bulan tarbiyyah (baca: pendidikan) sekarang tidak disertai dengan kehadiran informasi atau kabar yang membahagiakan dari kalangan negara muslim dunia. Tak luput dari setiap pemberitaan berbagai media, kekerasan dan konflik antar negara terjadi dimana-mana dan ironisnya sebagian besar konflik tertuju kepada negara Islam yang seharusnya dinaungi oleh banyak “keselamatan” (ed, Islam = Selamat).   
            Menelisik fenomena yang tidak nyaman untuk didengar ini, dalam disiplin ilmu hubungan inernasional, konflik kekerasan termasuk dalam bagian analisis teori pendekatan pemikiran realisme yang muncul pada era perang dunia I. Sifat manusia merupakan dasar hubungan internasional tidak lebih dari hubungan manusia lain yang mana manusia mementingkan diri, mengejar kekuasaan, dan itu dapat dengan mudah mengakibatkan agresi (Morgenthau, 1960). Di akhir 1930an tidak lah sulit untuk menemukan bukti yang mendukung pandangan tersebut. Hitler Jerman dan Mussolini Italia secara terang-terangan mengejar kebijakan luar negeri yang agresif yang dicapai melalui konflik, bukan kerjasama. Secara umum, teori realisme internasional ini menekankan bahwa salah satu perdebatan di kalangan bangsa hanya dapat diselesaikan dengan konflik yang pada ujungnya berakhir kepada kekerasan dan negara adalah satu-satunya aktor yang terlibat akan hal itu.
            Merealisasikan teori di atas, telah banyak kita temukan sekarang berbagai perilaku atau fenomena internasional yang sedikit banyak dan secara tidak langsung telah membuat dunia ini seakan tak bermoral lagi. Konflik Israel-Palestina yang tak ada habisnya, kekerasan rezim di Suriah bak episode yang tak berujung, perang dingin Korea Utara dengan Korea Selatan terkait isu senjata nuklir yang semakin memanas adalah contoh empirisnya, serta kudeta Militer di Mesir yang semakin menciderai hak-hak konstitusi dalam negeri.  Berbagai fenomena lain seperti banyaknya penguasa modal asing yang merongrong aset dalam negeri suatu bangsa dan semakin tumbuhnya “lumut-lumut” kapitalisme internasional akibat “uang” yang telah bertransformasi menjadi “Tuhan”.
            Ramadhan yang sebentar lagi akan kita hadirkan ditengah-tengah lingkungan kita pada hakikatnya adalah bulan yang sarat akan kedamaian dan indahnya keimanan. Aplikasi nilai-nilai puasa dengan pemahaman secara baik dan benar akan mengantarkan kepada munculnya sebuah atmosfer kehidupan yang penuh dengan rasa keimanan dan ketaqwaan. “Ramadhan didatangkan sebagai ladang bagi para hamba untuk menyucikan hati dari keburukan“Maka tunaikanlah hak-hak Ramadhan baik berupa perkataan maupun perbuatan” (Al-Hadits). Pernyataan Nabi SAW tersebut mengisyaratkan kita sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam mengilhami bulan Ramadhan ini dapat menjadikannya sebagai momentum penjagaan dari perbuatan-perbuatan keburukan dan tentunya adalah momentum baik bagi dunia untuk menciptakan tatanan perdamaian lewat nilai-nilai keislaman yag hakiki.     
            Sebagai manusia yang berdiri di atas bumi sudah sewajibnya kita tahu, prihatin, dan ikut andil merubah segala bentuk permasalahan fenomena internasional yang berujung kepada konflik kekerasan. Fitrah manusia adalah berlaku baik bukan berlaku jahat. Konflik yang tak berawal dan berujung ini seharusnya menjadi perhatian penting kita, menjadi perhatian penting bangsa kita, dan menjadi perhatian penting dunia internasional untuk merubah paradigma berpikir serta melepaskan “pakaian-pakaian kepentingan” sehingga akibat buruk dari fenomena ini takkan terulang lagi. Mari jadikan datangnya bulan nan suci Ramadhan ini sebagai katalisator datangnya kedamaian internasional yang kita rindu-rindukan.
 
 
 
Rakhmat Abril Kholis
HI UIN Jakarta, Peniliti CIDES Indonesia, Co-Founder Indonesia Madani
                                                                       
Buat lebih berguna, kongsi:
close
CLOSE [X]