Politik Kampus, antara Kekuasaan dan Cermin Problematika Bangsa



         “Dalam sebuah tatanan kehidupan, dalam sebuah tonggak kepemimpinan dan kekuasaan, maka politik adalah jawaban dari tiap arah persoalan”. “Politics who gets what, why, and how”—Harold D. Laswell.  Dua esensi kalimat ini sangatlah tidak asing di telinga para “pencinta” perpolitikan. Dunia sekarang seakan beralih dan semua mata dan rongga bicara tertuju  kepada satu hal yang dinamakan politik. Arah perhatian ini juga sedikit banyak meraup energi generasi tonggak intelektual bangsa ini.
      Berbicara mengenai politik kampus, maka tak ubahnya dengan bagaimana kita berbicara mengenai politik di negeri ini dikarenakan kampus adalah institusi tertinggi dalam pendidikan yang mengambil alih andil yang besar bagi terciptanya keadaan kondusif bangsa. Posisi kampus diproyeksikan sebagai roll model perpolitikan di kancah nasional. Jika politik di kampus atau perguruan tinggi itu mapan, maka dapat diartikan kemapanan itu pun akan layak disandang pada tataran nasional. Sebaliknya, jika aplikasi perpolitikan di kampus itu bobrok, maka dapat secara tidak langsung kebobrokan itu juga tercermin kepada bangsa ini.

           Mahasiswa sebagai garda terdepan penyambung antara kelas bawah dan kelas atas dalam hal ini memiliki tiga komponen yang harusnya tidak diperbolehkan untuk lepas. Pengajaran, penelitian, dan pengabdian adalah trilogi yang wajib ada pada setiap insan mahasiswa. Terkhusus dalam hal pengabdian, mahasiswa hanya akan mendapatkan predikat sukses dalam pengabdiannya jika mereka telah dapat memadukan konsep pengajaran dan penelitian lewat sebuah pemahaman serta aplikasi sifat kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan akan memupuk diri mahasiswa menjadi seorang individu yang mampu berkarya dan mempunyai pengaruh yang besar bagi kampus, masyarakat, dan bangsa.

            Persoalannya sekarang ialah perpolitikan di kampus seakan-akan dinilai sebagai sebuah aktivitas yang sangat bersifat pragmatis dan apatis, serta hanya mengatasnamakan simbol golongan semata. Fakta ini terjadi hampir di seluruh elemen perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia. Masih banyak bahkan rata-rata mahasiswa mengartikan sebuah makna dari politik itu hanyalah bagaimana meraih kursi jabatan tanpa mengetahui nilai yang lebih urgent yang akan ditangggung dan direalisasikan. Ketika upaya mencapai kuasa menghalalkan segala cara merebak, terjadi de-institusionalisasi partisipasi yang melawan perubahan sosial menuju tatanan demokratis. Fenomena tersebut memicu pelembagaan politik opurtunis yang bersumber pada spirit “tujuan menghalalkan segala cara” dan melawan semangat partisipasi menuju demokrasi. Sikap apatis dan pragmatis di tubuh mahasiswa seolah menggambarkan betapa buruknya citra sistem demokrasi yang kita tinggi-tinggikan hingga sekarang dan betapa buruknya citra politik di negeri ini.
           
          Kepentingan politik (political interest) memang adalah hal yang lumrah dalam dinamika kekuasaan. Persoalannya, orientasi kepentingan publik sering terdistorsi oleh kepentingan personal (self interest) dan primordial serta mengabaikan tanggung jawab kolektif yang sebenarnya merupakan tujuan utama. Bahkan pada titik tertentu terjadi upaya personifikasi politik yang mengaburkan mekanisme dan prosedur demokrasi. Akibatnya nalar dan logika moral lumpuh dihadapan politik intrik dan transaksi. Mengahalalkan segala cara menjadi kaidah demi meraih kepentingan diri, kelompok, maupun golongan dan inilah yang terjadi di sebagian kancah perpolitikan kampus. Mahasiswa secara massif dan periodik ikut dilibatkan dalam politik menyimpang yang dibungkus dalam kontestasi (pemira/pemilu BEM) sebagai bagian dari prosedur demokrasi. Tak berlebihan bila sebagian mahasiswa memahami politik sebagai transaksi.

          Aplikasi konkret dari teori perpolitikan di kampus adalah adanya partisipasi aktif dalam diri mahasiswa terhadap arah perkembangan kampusnya, sikap kritis pada tempatnya dan menjadikan pendidikan sebagai lahan untuk memperbaiki kualitas diri, ikut serta dalam menyukseskan pemilihan ketua perhimpunan atau lembaga perwakilan mahasiswa di kampus, serta menjaga atmosfer demokrasi di kampus agar tak lari dari jalan empat falsafah negeri ini, Pancasila, UUD’45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

          Berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan kampus berangkat dari sebuah anekdot dan paradigma umum di kalangan mahasiswa bahwasanya “politik itu kotor”. Paradigma seperti inilah yang membuat pemahaman kita sebagai mahasiswa terkikis dan dibawa mengudara di atas udara yang salah sasaran. Paradigma seperti inilah yang sering digunakan oleh banyak orang sehingga yang nantinya masuk ke dalam kancah perpolitikan adalah orang-orang yang buruk sikapnya dan hangus kejujurannya. Paraklausa seperti ini seharusnya tidak ada lagi di dalam naungan pola pikir mahasiswa sekarang yang sangat informatif dan kritis dalam menyikapi sesuatu. Mahasiswalah yang nantinya menjadikan politik itu seperti kertas putih tanpa noda, mengisinya dengan keteladanan dalam kepemimipinan, tanggung jawab yang tinggi, dan meninggalkan segala bentuk fanatisme semu akan identitas kepentingan golongan.
                                                                   
Rakhmat Abril Kholis
Ilmu Hubungan Internasional UIN Jakarta
Buat lebih berguna, kongsi:
close
CLOSE [X]